---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Ladies and gentlemen, welcome to Don Muang International
Airport. Local time is 9 pm
and the temperature is
about 25oC” begitulah
kira-kira suara dari cockpit yang ku dengar.
Agak samar-samar karena tubuh ini baru setengah sadar. Tak terasa pesawat akan
segera landing. Aku pun membenarkan
posisi kursi yang sedari tadi aku sandarkan ke belakang.
“Dug.. “
rupanya proses landing tidak begitu
mulus. Dengan membawa satu ransel dan tas kecil, aku melangkah cepat menuju
loket imigrasi agar bisa mengisi perut yang sedari tadi minta diisi. Keluar
dari terminal, aku melihat sekeliling untuk menemukan bus A1 yang menuju ke Mo Chit Terminal atau Northeastern Terminal.
Penampilan dari bus ini seperti Damri atau Kopaja di Jakarta. Berumur tua, agak
kusam dan knalpot yang mengeluarkan asap cokelat.
Aku naik
dan bertanya kepada sang supir yang ternyata seorang wanita, untuk meyakinkan
apa benar bus ini menuju ke Mo Chit Bus
Terminal. Dengan aksen thailand yang khas, wanita itu menjawab ya, tapi
akan memakan waktu karena jalanan bangkok yang macet. Aku duduk di dekat
jendela agar memudahkan melihat pemandangan malam di kota yang terkenal dengan
sebutan Venice dari timur ini. Tak jauh berbeda dengan Jakarta, ada banyak
gedung tinggi, kelap kelip lampu jalanan, tak ketinggalan hilir mudik kendaraan
dan padatnya arus lalu lintas. Pada situs backpacker
yang sebelumnya aku buka, tarif bandara-terminal sekitar 20 bath. Ketika
kondektur bus berkeliling untuk meminta ongkos kepada penumpang, aku
menyerahkan uang sejumlah itu. Sang kondektur kemudian mengembalikan uangku.
Dia bilang uangnya kurang. Tapi aku bersikeras bahwa tarifnya memang segitu.
Aku tidak mau tarifnya di mark up
hanya karena aku seorang turis. Aku bertanya ke penumpang disebelahku. Katanya memang
tarifnya sudah naik. Aku merogoh sisanya dan memberikan ke kondektur. 30 menit
sudah berlalu, satu persatu penumpang mulai turun, tapi belum tanda-tanda bus ini akan sampai
tujuan. Aku khawatir bahwa terminal sudah terlewat. Kekhawatiranku muncul
ketika aku tidak sepenuhnya yakin sang supir mengerti ke mana arah tujuanku.
“BTS Mo Chit? Here is BTS Mo Chit” kata
kondektur kepadaku. Aku kaget, karena itu bukan tempat tujuanku. BTS berbeda
dengan Terminal. BTS adalah nama stasiun untuk MRT di Bangkok. “No.. No.. I want to go to Mo Chit Bus
Terminal” jawabku dengan melambatkan suaraku berharap dia mendengar jelas
tujuan akhirku. “It’s the next stop”
sambil mengacungkan telunjuknya ke arah kanan. Huft, lega rasanya karena aku
tidak salah naik Bus.
Waktu
menujukan pukul 10 ketika aku sampai di Terminal Bus. Aku segera mencari-cari
keberadaan bus yang akan membawaku ke Aranyaprathet, border antara Thailand dan
Kamboja. Aku bertanya kepada penumpang lokal, namun tidak ada yang mengerti apa
yang aku katakan. Keadaan bertambah bingung ketika hampir semua petunjuk di
terminal itu berbahasa Thailand. Jangankan mengetahui artinya, membacanya pun
aku tidak sanggup. Aku menuju ke kantor keamanan di dekat gerbang, untungnya
ada petugas yang sedikit mengerti bahasa Inggris. Aku diarahkan untuk menuju ke
gedung terminal utama, karena semua loket perusahaan bus terletak di sana.
Keadaan
di dalam gedung tidak seperti yang ku bayangkan, walaupun agak sedikit
berantakan tapi posisi dari kaunter tiket, minimarket, restaurant, dan para
pedagang sangat teratur. Setelah bertanya ke sana kemari, naik dan turun, aku
menemukan loket tersebut. Loket seperti wartel dengan bertuliskan
Bangkok-Aranyaprathet itulah yang aku cari. Tapi loket terlihat tutup dari
kejauhan, aku bertanya ke kaunter tiket lain yang berada disampingnya. Katanya
baru akan dibuka jam 3 pagi, karena keberangkatan Bus jam 3.30 Pagi. Aku juga
bertanya apa ada bus lain yang lebih awal, tapi jawabannya negatif,
satu-satunya bus ke Aranyaprathet memang hanya itu. Memang ada alternatif lain
menggunakan Bus Bangkok-Phnom Penh, tapi keberangkatannya jam 7 pagi dan tapi
tarifnya mahal sekali, diluar budget perjalananku. Akupun dipaksa menyerah oleh
keadaaan.
“kruyuk..kruyuk..”
suara perutku yang kembali meronta ronta minta segera diisi. Aku menuju
restaurant yang masih berada di dalam gedung yang sama. Nampaknya
keberuntunganku belum tiba, menu makanan di restaurant semuanya menggunakan
bahasa thailand, bahkan salah satu makanan cepat saji pun ikut-ikutan.
Satu-satunya yang bisa membantuku hanya gambar. Ya, gambar makanannya. Kulihat
sekeliling pun, tidak ada seorangpun turis. Karena tak mau ambil resiko untuk
memakan makanan yang tidak halal, aku segera saja menuju supermarket untuk
membeli cemilan. Aku berkeliling untuk mencari makanan dan minuman yang
terdapat logo halal oleh lembaga islam di bangkok. Ada beberapa makanan yang di
beri tanda halal. Aku membeli 3 roti, 1 botol susu dan 1 kaleng minuman isotonik.
Aku mencari
tempat duduk yang dekat dengan sumber listrik untuk mencharge handphone yang sudah mati ketika di Malaysia. Tapi
tampaknya tak ada tempat duduk yang dekat. Sumber listrik yang ada hanya dekat
pintu masuk, sehingga sedikit menghalangi jalan. Tapi demi kemudahan
berkomunikasi esok hari dengan teman di Kamboja, aku tak peduli dengan itu. Aku
duduk di dekat pintu masuk dimana banyak orang berlalu-lalang. Aku charge
baterai handphone dan kameraku. Aku juga mencari sinyal Wi-Fi yang gratis,
sekedar untuk bertegur sapa dengan orang tua. Tak disangka, ada juga Provider
lokal yang menyediakan Wi-Fi gratis tanpa harus membeli paket. Cukup melakukan
registrasi dan aku pun bebas menikmati fasilitas ini. Aku juga memberitahukan
teman yang di Bangkok, bahwa aku sedang di bangkok, dan memintanya untuk
menjemputku. Dia menanggapnya serius. Aku katakan, aku ingin menjadi warga
lokal dan berbaur dengan mereka. Aku juga ceritakan semua kejadian hari ini.
Tak lama
berselang, ada petugas terminal yang memintaku untuk pindah, karena menghalangi
jalan. Sebelum memintaku pindah, dia bertanya mau kemana. Wajar memang, dari
penampilanku, aku terlihat kusut sekaligus menenteng ransel yang cukup besar.
Aku jawab saja kalau aku sedang menunggu bus ke Border jam 3 pagi sambil
memperlihatkan muka harapku. Dia rupanya tak iba dan tetap memintaku pindah.
Aku pun pindah ke bangku dan meninggalkan smartphone ku di tempatnya. Aku cukup
mengawasinya dari bangku sini. Aku rasa terminal ini cukup aman.
Setelah
terisi cukup penuh, baik perut maupun smartphone ku, akupun ingin merebahkan
badanku yang lelah ini. Aku mencari bangku terminal yang kosong. Aku gunakan
ransel sebagai bantal dan hanya berselimutkan jaket cokelat yang sudah bau keringat.
Malam itu cukup dingin, karena pintu terminal yang selalu terbuka. Seorang ibu
yang sedang tidur tepat dibangku yang berhadap-hadapan denganku, menyodorkan
sehelai kain untuk melindungi tubuhku dari udara dingin itu. Mungkin ibu itu
merasa kasihan terhadapku. Aku menerimanya dengan senang hati dan mengucapkan
terima kasih dengan bahasa Thailand tentunya.
Jam 3.15
alarmku pun berbunyi, aku segera bangun untuk antri membeli tiket. Ibu yang
memberikan kain semalam sudah tak terlihat di depanku. Aku melihat sekeliling,
namun tetap tak menemukannya. Aku segera menuju loket dan menyerahkan uang bath
sejumlah yang tertera di kaca loket. Aku diberikan tiket. Aku juga diminta
hati-hati ketika sampai di border. Aku mengiyakan. Aku menuju pintu keluar
untuk masuk ke dalam bus yang sedari tadi sudah memanaskan mesin mobilnya. Aku
lipat kain pemberian sang ibu dan memasukannya dalam tas. Kain ini nantinya
akan menemaniku selama perjalanan. Dari sehelai kain ini pula, aku belajar
tentang keikhlasan. Keikhlasan untuk menolong sesama yang tak menghiraukan
perbedaan budaya dan adat-istiadat. Ikhlas memang tak terucap darinya, tapi dengan
seuntai senyuman, dia mengatakan apa yang tak bisa diungkapkan dengan
kata-kata.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar