Pages

Minggu, 22 Maret 2015

Selembar Kain Keikhlasan

Cerita sebelumnya buka link berikut : Chasing A Flight
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
        “Ladies and gentlemen, welcome to Don Muang International Airport. Local time is 9 pm and the temperature is about 25oC begitulah kira-kira suara dari cockpit yang ku dengar. Agak samar-samar karena tubuh ini baru setengah sadar. Tak terasa pesawat akan segera landing. Aku pun membenarkan posisi kursi yang sedari tadi aku sandarkan ke belakang.
            “Dug.. “ rupanya proses landing tidak begitu mulus. Dengan membawa satu ransel dan tas kecil, aku melangkah cepat menuju loket imigrasi agar bisa mengisi perut yang sedari tadi minta diisi. Keluar dari terminal, aku melihat sekeliling untuk menemukan bus A1 yang menuju ke Mo Chit Terminal atau Northeastern Terminal. Penampilan dari bus ini seperti Damri atau Kopaja di Jakarta. Berumur tua, agak kusam dan knalpot yang mengeluarkan asap cokelat.
            Aku naik dan bertanya kepada sang supir yang ternyata seorang wanita, untuk meyakinkan apa benar bus ini menuju ke Mo Chit Bus Terminal. Dengan aksen thailand yang khas, wanita itu menjawab ya, tapi akan memakan waktu karena jalanan bangkok yang macet. Aku duduk di dekat jendela agar memudahkan melihat pemandangan malam di kota yang terkenal dengan sebutan Venice dari timur ini. Tak jauh berbeda dengan Jakarta, ada banyak gedung tinggi, kelap kelip lampu jalanan, tak ketinggalan hilir mudik kendaraan dan padatnya arus lalu lintas. Pada situs backpacker yang sebelumnya aku buka, tarif bandara-terminal sekitar 20 bath. Ketika kondektur bus berkeliling untuk meminta ongkos kepada penumpang, aku menyerahkan uang sejumlah itu. Sang kondektur kemudian mengembalikan uangku. Dia bilang uangnya kurang. Tapi aku bersikeras bahwa tarifnya memang segitu. Aku tidak mau tarifnya di mark up hanya karena aku seorang turis. Aku bertanya ke penumpang disebelahku. Katanya memang tarifnya sudah naik. Aku merogoh sisanya dan memberikan ke kondektur. 30 menit sudah berlalu, satu persatu penumpang mulai turun,  tapi belum tanda-tanda bus ini akan sampai tujuan. Aku khawatir bahwa terminal sudah terlewat. Kekhawatiranku muncul ketika aku tidak sepenuhnya yakin sang supir mengerti ke mana arah tujuanku.
BTS Mo Chit? Here is BTS Mo Chit” kata kondektur kepadaku. Aku kaget, karena itu bukan tempat tujuanku. BTS berbeda dengan Terminal. BTS adalah nama stasiun untuk MRT di Bangkok. “No.. No.. I want to go to Mo Chit Bus Terminal” jawabku dengan melambatkan suaraku berharap dia mendengar jelas tujuan akhirku. “It’s the next stop” sambil mengacungkan telunjuknya ke arah kanan. Huft, lega rasanya karena aku tidak salah naik Bus.
Waktu menujukan pukul 10 ketika aku sampai di Terminal Bus. Aku segera mencari-cari keberadaan bus yang akan membawaku ke Aranyaprathet, border antara Thailand dan Kamboja. Aku bertanya kepada penumpang lokal, namun tidak ada yang mengerti apa yang aku katakan. Keadaan bertambah bingung ketika hampir semua petunjuk di terminal itu berbahasa Thailand. Jangankan mengetahui artinya, membacanya pun aku tidak sanggup. Aku menuju ke kantor keamanan di dekat gerbang, untungnya ada petugas yang sedikit mengerti bahasa Inggris. Aku diarahkan untuk menuju ke gedung terminal utama, karena semua loket perusahaan bus terletak di sana. 
Keadaan di dalam gedung tidak seperti yang ku bayangkan, walaupun agak sedikit berantakan tapi posisi dari kaunter tiket, minimarket, restaurant, dan para pedagang sangat teratur. Setelah bertanya ke sana kemari, naik dan turun, aku menemukan loket tersebut. Loket seperti wartel dengan bertuliskan Bangkok-Aranyaprathet itulah yang aku cari. Tapi loket terlihat tutup dari kejauhan, aku bertanya ke kaunter tiket lain yang berada disampingnya. Katanya baru akan dibuka jam 3 pagi, karena keberangkatan Bus jam 3.30 Pagi. Aku juga bertanya apa ada bus lain yang lebih awal, tapi jawabannya negatif, satu-satunya bus ke Aranyaprathet memang hanya itu. Memang ada alternatif lain menggunakan Bus Bangkok-Phnom Penh, tapi keberangkatannya jam 7 pagi dan tapi tarifnya mahal sekali, diluar budget perjalananku. Akupun dipaksa menyerah oleh keadaaan.
“kruyuk..kruyuk..” suara perutku yang kembali meronta ronta minta segera diisi. Aku menuju restaurant yang masih berada di dalam gedung yang sama. Nampaknya keberuntunganku belum tiba, menu makanan di restaurant semuanya menggunakan bahasa thailand, bahkan salah satu makanan cepat saji pun ikut-ikutan. Satu-satunya yang bisa membantuku hanya gambar. Ya, gambar makanannya. Kulihat sekeliling pun, tidak ada seorangpun turis. Karena tak mau ambil resiko untuk memakan makanan yang tidak halal, aku segera saja menuju supermarket untuk membeli cemilan. Aku berkeliling untuk mencari makanan dan minuman yang terdapat logo halal oleh lembaga islam di bangkok. Ada beberapa makanan yang di beri tanda halal. Aku membeli 3 roti, 1 botol susu dan 1 kaleng minuman isotonik.
Aku mencari tempat duduk yang dekat dengan sumber listrik untuk mencharge handphone yang sudah mati ketika di Malaysia. Tapi tampaknya tak ada tempat duduk yang dekat. Sumber listrik yang ada hanya dekat pintu masuk, sehingga sedikit menghalangi jalan. Tapi demi kemudahan berkomunikasi esok hari dengan teman di Kamboja, aku tak peduli dengan itu. Aku duduk di dekat pintu masuk dimana banyak orang berlalu-lalang. Aku charge baterai handphone dan kameraku. Aku juga mencari sinyal Wi-Fi yang gratis, sekedar untuk bertegur sapa dengan orang tua. Tak disangka, ada juga Provider lokal yang menyediakan Wi-Fi gratis tanpa harus membeli paket. Cukup melakukan registrasi dan aku pun bebas menikmati fasilitas ini. Aku juga memberitahukan teman yang di Bangkok, bahwa aku sedang di bangkok, dan memintanya untuk menjemputku. Dia menanggapnya serius. Aku katakan, aku ingin menjadi warga lokal dan berbaur dengan mereka. Aku juga ceritakan semua kejadian hari ini.
Tak lama berselang, ada petugas terminal yang memintaku untuk pindah, karena menghalangi jalan. Sebelum memintaku pindah, dia bertanya mau kemana. Wajar memang, dari penampilanku, aku terlihat kusut sekaligus menenteng ransel yang cukup besar. Aku jawab saja kalau aku sedang menunggu bus ke Border jam 3 pagi sambil memperlihatkan muka harapku. Dia rupanya tak iba dan tetap memintaku pindah. Aku pun pindah ke bangku dan meninggalkan smartphone ku di tempatnya. Aku cukup mengawasinya dari bangku sini. Aku rasa terminal ini cukup aman.
Setelah terisi cukup penuh, baik perut maupun smartphone ku, akupun ingin merebahkan badanku yang lelah ini. Aku mencari bangku terminal yang kosong. Aku gunakan ransel sebagai bantal dan hanya berselimutkan jaket cokelat yang sudah bau keringat. Malam itu cukup dingin, karena pintu terminal yang selalu terbuka. Seorang ibu yang sedang tidur tepat dibangku yang berhadap-hadapan denganku, menyodorkan sehelai kain untuk melindungi tubuhku dari udara dingin itu. Mungkin ibu itu merasa kasihan terhadapku. Aku menerimanya dengan senang hati dan mengucapkan terima kasih dengan bahasa Thailand tentunya.
Jam 3.15 alarmku pun berbunyi, aku segera bangun untuk antri membeli tiket. Ibu yang memberikan kain semalam sudah tak terlihat di depanku. Aku melihat sekeliling, namun tetap tak menemukannya. Aku segera menuju loket dan menyerahkan uang bath sejumlah yang tertera di kaca loket. Aku diberikan tiket. Aku juga diminta hati-hati ketika sampai di border. Aku mengiyakan. Aku menuju pintu keluar untuk masuk ke dalam bus yang sedari tadi sudah memanaskan mesin mobilnya. Aku lipat kain pemberian sang ibu dan memasukannya dalam tas. Kain ini nantinya akan menemaniku selama perjalanan. Dari sehelai kain ini pula, aku belajar tentang keikhlasan. Keikhlasan untuk menolong sesama yang tak menghiraukan perbedaan budaya dan adat-istiadat. Ikhlas memang tak terucap darinya, tapi dengan seuntai senyuman, dia mengatakan apa yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. 
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar