Bus yang aku tumpangi sesaat lagi sampai di perbatasan.
Aku menanyakan ke penumpang sebelah untuk memastikan. Ya, ini sudah sampai di
Rong Klua. Tujuanku menuju Siem Reap sudah semakin dekat. Saat itu masih pagi.
Tempat itu seperti pasar tradisional. Aktivitas jual-beli selayaknya seperti di
Indonesia. Sopir tuk-tuk juga berlalu lalang mengantarkan pembeli dari dan
menuju pasar. Aku turun disitu dan berjalan-jalan untuk mencari sesuap makanan.
Sulit sekali untuk sekedar membeli makanan, keterbatasan bahasa menjadi
penghalang. Aku segera saja menuju Poipet, wilayah terluar Kamboja tepat
bersebelahan dengan Rong Klua. Aku banyak mendapat cerita jika border antara
Thailand dan Kamboja ini salah satu yang paling rawan penipuan, terutama bagi
turis asing berkulit putih. Penipuan ini disebut scam oleh komunitas backpacker. Scam
bisa berupa penaikan harga visa dari agen-agen tak resmi. Visa tetap berlaku,
tapi tentu ada mark up harga. Aku sendiri tidak memerlukan visa untuk
memasuki wilayah Kamboja, jadi aku ambil jalur yang non-visa. Walaupun banyak
agen-agen yang menawarkan, aku tinggal menunjukkan passportku saja dan mereka langsung
diam. Hari itu saya jarang sekali melihat turis melalui rute ini, mungkin
karena sudah banyak pesawat dari Bangkok ke Siem Reap. Aku berencana
melanjutkan perjalanan dari Poipet ke Siem Reap dengan menggunakan Taksi. Untuk
menghemat biaya, saya harus mencari 3-4 orang wisatawan lain yang memiliki
tujuan yang sama. Namun, rencana ini harus aku pikir ulang karena tidak ada
turis yang terlihat.
Setelah
passport di cap, aku langsung dikerubuti oleh para tukang ojek yang menawarkan
jasa ke terminal bus Poipet. Aku tak langsung menyetujui sampai akhirnya ada salah
seorang yang menawarkan untuk mencarikan taxi dengan harga seperti biasa, yakni
15 USD. Aku segera menyetujui. Tapi, sebelumnya aku minta diantarkan ke money
changer, karena aku tak memegang USD sama sekali. Memang, di Kamboja ada 2 mata
uang resmi, USD dan Riel. Keduanya digunakan, namun USD jadi pilihan utama. Di sini
kesalahanku, aku menukarkan uang di Border paling kejam ini. Nilai tukarnya
sangat rendah sekali. Sehingga aku rugi beberapa puluh dollar. Tapi karena
sudah terlanjur, ditambah lagi aku hanya seorang diri, jadi aku terima saja
walaupun ada perasaan gondok sekaligus menyesal. Aku diminta menunggu di sebuah tempat tepat di belakang
pasar. Aku mengira yang datang adalah taxi, namun sangkaku salah. Yang akan
mengantarkanku hanya sebuah mobil warga lokal yang akan menuju Siem Reap. Itu pun
mobil sedan yang sudah cukup tua. Ditambah lagi, mobil sudah terisi oleh 5
orang. Satu supir dan 4 orang anggota keluarga lainnya. Bukan cuma itu, di dalam
mobil juga sudah menumpuk barang2 dagangan yang akan mereka jual di sana.
Kepalang tanggung, aku langsung masuk saja, sambil menaruh tasku di bagasi. Aku
duduk di kursi bagian belakang, dihimpit oleh 3 orang lain. Sempit sekali
rasanya. Posisi kakiku juga tak nyaman, karena harus ada di atas barang dagangan.
Jangankan ingin meluruskan kaki, menggerakkan badan saja susahnya setengah
mati.
Aku tak
bisa membayangkan aku harus menikmati perjalanan dengan posisi seperti ini.
Lama perjalanan yang harus kutempuh kurang lebih 6 jam. Dengan situasi seperti ini,
aku tidak mau dirugikan. Aku tawar saja harganya menjadi 10 USD, atau saya cari
mobil lain. Mungkin karena terdesak butuh uang, tukang ojek tadi menyetujui dan
mengatakan ke sang supir. Sepanjang perjalanan, aku cuma bisa diam. Tak ada
sepatah kata pun yang aku ucapkan. Mereka tak mengerti bahasa Inggris, dan aku
tak mengerti bahasa mereka. Hanya senyuman yang terlempar dari dari wajah
mereka. Aku menyebutnya senyum keheranan; karena mungkin dalam benak mereka,
kok bisa anak muda seperti ku ini melakukan perjalanan seorang diri di negeri
asing yang bahkan aku tak mengerti bahasanya. Tapi aku yakin, di balik senyuman
itu, ada rasa ingin tahu dari mana aku berasal dan kenapa aku bisa sampai sini.
Segera saja aku ambil kertas yang berisi itinerary perjalanku serta pulpen di
saku depanku. Aku coba gambar peta Asia Tenggara, semirip mungkin. Aku juga
gambar titik dimana negara mereka dan dimana Indonesia. Dengan bahasa isyarat,
aku jelaskan sebisanya. Mereka menggangguk-angguk, walau aku yakin mereka tak
sepenuhnya paham. Tak apa, paling tidak aku sudah mengenalkan dimana letak
Indonesia.
Aku coba
memejamkan mata berharap waktu cepat berlalu. Tapi aku tak bisa. Keadaan dalam
mobil yang panas ditambah oksigen yang tak proporsional dengan jumlah orang di
dalam, berhasil membuatku berpeluh keringat. Mereka menawarkan kipas. Tentu aku
terima. Dalam hal ini, mereka mengerti tanpa aku memberi isyarat.
Tanda-tanda sampai di
Siem Reap sudah semakin dekat, ditandai dengan makin banyaknya pemukiman di
kanan kiri jalan. Terlihat pula candi-candi tempat peribadatan Agama budha yang
menjadi agama mayoritas. Di depan aku lihat ada Gapura yang menyambut
kedatangan kami. Jalanan menuju Siem Reap ini cukup sepi, hanya beberapa
kendaraan pribadi yang melintas. Keadaannya bersih, walaupun udaranya panas. Aku
diturunkan di pinggiran kota oleh sang supir, sekaligus memanggil seorang
tukang ojek. Aku sedikit protes, kenapa aku diturunkan disini. Padahal sesuai
perjanjian, aku meminta diturunkan di sekitar Angkor Wat. Percuma, mereka tak
mengerti. Aku bayarkan saja 10 USD dan mengambil tas ranselku. Setelah mereka
pergi, aku mengatakan kalau aku ingin pergi ke Angkor Wat kepada sang tukang
ojek. Karena memang dia sering mengantar turis-turis kesana, syukurlah dia
mengerti bahasa Inggris. Aku bertanya harga, katanya 15 USD untuk satu hari.
Aku tawar 10 USD. Dia setuju-setuju saja. Aku meminta untuk diantar ke kaunter
tiket dahulu sebelum ke restaurant. Di tengah jalan, dia bertemu teman-temannya
yang juga memiliki profesi yang sama. Pemandu wisata. Lebih tepatnya Pengantar
Wisatawan. Disana, aku diberitahu kalau pakai ojek itu 15 USD dan pakai tuk tuk
20 USD. Aku tetap memaksa 10 USD sesuai harga awal. Lagi lagi, aku cuma seorang
diri di sini. Keadaan yang mengharuskanku menerima ini. Oke, deal 15 USD untuk
satu hari dengan syarat mengantarkan kemanapun aku mau, bukan cuma ke Angkor
Wat. Kami berjabat tangan, deal.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar