Pages

Sabtu, 07 Februari 2015

My Roommate (part.2)

Sepulang dari kuliah, aku bergegas menuju kamar karena sudah tak sabar melihat reaksinya ketika aku buatkan sarapan pagi. Ketika aku masuk kamar, ku lihat dia tak berada di kamar. Mungkin teman kamarku ini sedang kuliah pikirku. Aku lihat, semangkuk sarapan pagi yang ku sajikan, di lahap habis olehnya. Aku senang, dia suka masakanku. Walaupun hanya bermodal bumbu instan.

Malam harinya, ketika kami berdua sedang duduk menghadap laptop masing-masing, aku memberanikan diri untuk bertanya.

“How was your breakfast, Briant?”

“Thank you so much Angga, it was one of my best breakfast ever. I just notice that halal food is delicious”


Aku puas mendengarnya. Kesempatan ini aku gunakan untuk berbagi cerita tentang seluk beluk makanan halal. Bahkan aku sebutkan hasil riset bahwa makanan halal baik untuk kesehatan. Satu lagi ilmu yang aku bisa tularkan kepadanya.

Hari hari di NTU, kami lewati dengan kesibukan masing-masing. Aku sibuk dengan kegiatan TF LEaRN ku, dan dia dengan kesibukannya. Namun kami tetap mengobrol banyak hal dikamar.

Namun, aku lihat akhir-akhir ini sikapnya berubah menurutku. Yang awalnya aku kenal dia merupakan mahasiwa yang baik, tapi seketika ada yang berbeda darinya. Mulai dari dia membawa beberapa botol bir ke kamarnya sampai membawa teman wanitanya ke dalam kamar, malam-malam pula. Tentu aku merasa sedikit risih dengan keadaan ini. Jelas saja, wanita masuk ke dalam kamar, malam hari dengan pintu tertutup. Aku mengira wanita itu adalah pacarnya, tapi belakangan aku tahu bahwa dia sesama anak exchange dari kanada. Aku sebenarnya tak terlalu khawatir sampai suatu saat dia membawa 3 teman lainnya masuk ke kamar. 2 perempuan dan 1 laki-laki. Mereka berempat mengobrol dan sesekali bercanda. Tentu aku agak terganggu dengan suara mereka karena aku sendiri sedang belajar materi ujian yang aku cicil. Parahnya lagi, dia membuka bir yang dia simpan di atas lemarinya dan meminumnya bersama mereka. Aku tak peduli dengan kelakuan mereka, tapi aku sungguh kesal dengan bau bir yang seketika menyebar ke seluruh penjuru kamar. Aku sesungguhnya tak suka saja baunya. Sedikit membuatku pusing. Bayangkan saja, suara bercandaan mereka dan bau bir yang menyengat. Bagaimana tidak membuatku kesal. Aku yang memakai earphone pura-pura tak menghiraukan mereka walau dalam hati sangat menggerutu. Mereka mengajak ngobrol denganku dan teman perempuannya mencoba menawarkan aku untuk minum juga, tentu aku menolak. Saat ditanya mengapa, aku jawab bahwa aku muslim dan tak boleh untuk minum bir. Brian paham dan menjelaskan kepada mereka. Untungnya aku sudah jelaskan sebelumnya pada teman sekamarku ini, sehingga aku tak perlu repot-repot lagi menjelaskan. Karena sudah tak tahan lagi, aku tutup laptopku dan menuju tempat tidur. Aku berbaring sambil kututupi wajahku dengan bantal, agar tak terlalu mencium baunya. Aku pun tertidur walaupun tak nyenyak.

Keesokan harinya saat aku bangun untuk sholat subuh, aku sangat kaget ketika melihat salah satu teman perempuannya tengah tertidur bersama temanku itu. Ya, tertidur di atas kasur yang sama. Bagi mereka ini hal yang wajar, tapi bagiku tidak. Ingin aku mengatakannya. Tapi aku takut merusak suasana kamar. Aku pernah mengajak teman dari Indonesia menginap di kamarku. Aku yakin ia terganggu. Namun sama halnya denganku, segan untuk berbicara jujur.

Lagi, 3 malam berikutnya dia membawa teman-temannya ke kamar. Tapi kali ini bukan untuk minum minum. Aku lihat barang-barangnya mulai dikemasi satu persatu. Seprai, baju-baju dan semua peralatannya. Aku penasaran, padahal ini masih awal bulan April dan masih ada 1 bulan lagi sebelum kuliah berakhir. Tiba-tiba ia menghampiriku, dan mengatakan bahwa dia akan pulang ke negaranya esok hari. Aku sontak kaget, mendadak sekali. Dia bercerita bahwa Ibunya sedang sakit dan memintanya untuk segera pulang. Aku masih tak percaya.

Aku ikut membantu membereskan barang-barangnya. Dia banyak menawarkan banyak barang yang sekiranya tak akan dibawa pulang. Aku terima dengan senang hati. Aku juga tak lupa memberikan kenang-kenangan berupa baju batik yang sudah aku siapkan sebelumnya.

Malam itu aku tak bisa tidur. Aku masih berharap ini mimpi, dan ingin cepat cepat bangun. Tapi ini memang nyata. Aku putuskan saja tidak tidur malam itu, aku rebahkan badanku di atas kasur sambil menyembunyikan mukaku di bawah selimut. Aku cuma ingin menghabiskan malam ini dengan memutar ulang memoriku bersamanya. Aku harap dia menganggapku benar benar tidur.

Tepat pukul 5 pagi, taksi pun datang menjemput. Aku masih pura-pura tidur. Dia sudah bersiap siap di depan pintu kamar. Dia berkata “see you next time my beloved room!”. “klap” pintu kamarpun tertutup. Aku bangun dan mengejarnya. Aku pikir ini kesempatan terakhirku untuk melihatnya sebelum dia terbang ke negara asalnya. Di depan pintu hall, aku memanggil namanya dan aku segera menghampiri untuk mengucapkan salam perpisahan. Aku memeluknya erat, tak terasa mataku pun berkaca-kaca.

Pagi ini sungguh penuh haru. Aku merasa sedih dengan kepulangannya. Aku kesal kenapa dia tak mengatakannya lebih awal? Kenapa? Sehingga aku tak kan sesedih ini. Aku akan lebih siap. Tapi aku mengerti, orang tuanya lebih membutuhkan dirinya daripada menghabiskan waktunya disini. Aku hanya bisa mendoakan Ibumu supaya lekas sembuh.

Aku melambaikan tangan tanda salam perpisahan. Beberapa saat kemudian supir taksi menyalakan mesin mobilnya. Semuanya sudah siap. Dia masuk, tanpa melihat ke arahku. Taksi ini pun berjalan kemudian menghilang di persimpangan jalan. Aku kembali ke kamar tapi aku merasa ada yang berbeda, sepi sekali. Aku tak melihat lagi saat kau bemain game, atau ketika kau masih tidur saat aku sholat shubuh. Ah, rindu rasanya.

Sungguh, kau sangatlah teramat baik. Saat pertama kali bertemu, sangat terkejut saat kau berkata bahwa kau datang dari Kanada yang jelas jelas berbeda dengan rupa wajahmu. Masih teringat kau sering bertanya tanya tentang Islam kepadaku, dan aku jawab yang aku bisa. Aku sangat ingin mengenalkan Islam kepadamu, tapi apa daya pengetahuanku tentang Islam sangatlah terbatas ditambah lagi kemampuan bahasa Inggrisku yang tak seberapa. Ah kenapa ilmu agamaku masih rendah? Aku tahu kamu pasti ingin mengerti lebih banyak kan?

Dan teringat pula kau sering memberikan pisang saat pagi hari ketika kau tahu bahwa aku hanya sarapan roti dan selai. Kau juga sering mengajakku untuk bermain bulutangkis. Aku ingin, tapi waktuku selalu terambil oleh tugas tugas kuliah. Aku minta maaf jika aku sering membawa temanku untuk menginap di kamar. Aku tahu kau terganggu, tapi kau hanya tidak enak untuk mengatakannya kepadaku karena kau tidak ingin merusak suasana di kamar ini.

Terima kasih, hanya satu kata itu yang bisa aku katakan. Terima kasih atas kebaikanmu selama ini. Pagi ini sungguh sangat syahdu, saat kupeluk erat dirimu dan mengatakan aku janji akan menemuimu saat aku berkunjung ke Kanada nanti. Ya suatu saat nanti akan kupenuhi janjiku itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar