Pages

Kamis, 12 November 2015

Menghubungi Professor? Siapa Takut!

Sudah hampir pertengahan November, puncak musim gugur juga sudah lewat di beberapa kota di Jepang. Daun-daun sudah banyak berjatuhan gugur jatuh meninggalkan rantingnya. Suhu juga sudah mulai di bawah 10 derajat di pagi hari. Pada bulan November, hampir semua universitas di Jepang, khususnya Universitas Negeri, sudah membuka pendaftaran bagi mahasiswa Internasional yang ingin melanjutkan studi ke tempat mereka. Bahkan beberapa Program di Top Universities sudah di tutup pendaftarannya. Ini beberapa contoh International Program yang dibuka secara rutin setiap tahun :
1. International Graduate Program, Tokyo Institute of Technology http://www.titech.ac.jp/english/graduate_school/international/international_graduate/
2. International Environmental Leadership Program, Tohoku University
3. International Multidisciplinary  Program, University of Tokyo
4. International Graduate Program for Advanced Science, Tohoku University
5. International Energy Science Course, Kyoto University
6. Biotechnology Global Human Resource Development Program, Osaka University
7. Dan masih banyak lagi yang lainnya, googling aja. Masukin keywordsnya misal “International Graduate Program Hokkaido University”, atau bisa langsung ke wesbite universitasnya. Sekarang hampir semua universitas di Jepang, sudah memakai bahasa inggris. Santai.

Nah, salah satu syarat untuk mendaftar pada Master/S2 dan Doctoral/S3 Program di Universitas seperti Jepang, Korea, Taiwan dan China adalah kita harus mendapatkan Professor, atau sensei dalam bahasa Jepang, yang mau menerima kita sebagai mahasiswanya. Disini, saya ingin berbagi pengalaman bagaimana langkah langkah dan tips untuk menghubungi calon pembimbing/Professor di suatu universitas.
1. Carilah informasi mengenai Professor melalui cara-cara berikut ini :
a. Melalui jurnal-jurnal ilmiah internasional ; Jika kita menemukan jurnal Ilmiah yang sesuai dengan bidang kita, maka lihatlah dalam jurnal tersebut terdapat beberapa penulis. Nama pertama yang muncul, biasanya mahasiswa yang menulis jurnal tersebut, dan nama terakhir itu adalah ‘big boss’ atau Professornya. Tapi tidak menutup kemungkinan juga, dalam satu jurnal, semuanya ditulis oleh beberapa professor yang melakukan kolaborasi riset. Lalu lihatlah corresponding emailnya. Biasanya email yang tercantum adalah email penulis pertama, namun jika kita beruntung, kita dapat email Professornya langsung.
b. Jika tidak menemukan informasi Professor di Jurnal Internasional, maka langkah lain yang bisa ditempuh adalah “Googling” . Ya, di zaman serba terkoneksi ini, mencari informasi melalui ‘search engine’ menjadi sangat efektif. Kita tinggal tulis nama Professor yang kita temukan dalam Jurnal, lalu beribu-ribu informasi secara cepat terpampang dalam layar komputer kita. Biasanya kita akan di link kan langsung ke website Laboratorium dimana sang Professor itu bekerja. Selain itu, sebagian besar Professor juga memiliki akun di www.researchgate.net. Dari website itu kita bisa melihat publikasi paper, tema riset yang sedang ditekuni, lab members, dan yang paling kita cari adalah kontak email Professor. Jika kita memiliki waktu luang yang banyak, silakan juga bisa mengunjungi web setiap universitas dan mencari kontak Professor dari sana. Tapi saya tidak menyarankan, karena sangat menyita waktu belum lagi ada website laboratorium yang tidak menggunakan bahasa inggris.
c.  Jika kita punya kenalan teman, kakak kelas atau dosen yang sedang kuliah di luar negeri, bisa bertanya melalui mereka. Tentunya harus menanyakan hal yang spesifik tentang professor. Jangan bertanya tentang “bagaimana sih cara kuliah di sana, Kak?, Universitasnya bagus ngga?”. Boleh saja sebenarnya, tapi itukan bisa kita cari sendiri di Google. Akan lebih baik lagi, kita minta dikenalkan oleh Dosen Pembimbing kita saat menempuh pendidikan S1. Ini cara yang sangat efektif. Biasanya, karena Professor akan merasa lebih yakin jika yang merekomendasikan adalah orang yang sudah Ia kenal, apalagi kalau kita mempunyai hasil penelitian yang oke, Insyaallah Professor akan sangat senang menerima kita.
d. Melalui pertemuan ilmiah internasional misalnya symposium, conference, seminar atau bentuk kegiatan lainnya. Dalam kegiatan tersebut akan cukup banyak Professor yang datang dari berbagai universitas terkemuka, baik sebagai keynote speaker, maupun sebagai presenter. Apalagi pertemuan ilmiah yang bergengsi, wah dijamin banyak orang orang hebat didalamnya. Langkah pertama, kenalkan diri kita, secara sopan tentunya, dan katakan bahwa kita sangat tertarik dengan risetnya. Akan lebih baik lagi, jika sebelumnya kita sudah melakukan observasi dulu tentang professor tersebut, sehingga kita punya lebih banyak bahan obrolan. Jika sang Professor welcome, maka mintalah kontak yang bisa dihubungi, untuk diskusi lebih lanjut.
2. Setelah kita yakin bahwa dialah orang yang tepat untuk menjadi pendamping pembimbing kita selama studi S2 atau S3, tidak ada salahnya kita segerakan untuk mengirim email ke Professor yang dimaksud. Isi dari emailnya sebenernya sederhana, berisikan tentang siapa kita, pengalaman riset, dan nyatakan kalau kita interest ke topik risetnya dia. Hal yang perlu diingat dalam mengirim email ini adalah ‘keep it simple and short’, cukup 200-300 kata. Karena, Professor itu orang Hebat, orang hebat biasanya sangat sangat sibuk. Jadi gak banyak punya waktu untuk membaca seluruh detail email kita. Untuk masalah waktu pengiriman email, sebenarnya tidak ada waktu baku, namun alangkah baiknya kita bisa menyiasati agar bagaimana email kita ada di list teratas saat beliau membuka email. Menurut pengalaman, saya mengirim email ke Professor di Jepang, Korea dan Taiwan itu sekitar abis sholat subuh, jam 5 pagi, berarti Jam 7 pagi waktu Jepang dan Korea, serta 6 pagi waktu Taiwan. Sehingga saat pagi-pagi Professor datang ke ruang kerja, dan beliau ngecek email, email kita akan berada di deretan atas. Hal lain yang tak kalah penting adalah “Subjek Email”. Gunakan subjek yang spesifik, misalnya waktu saya mendaftar pakai Subjek “IELP Tohoku 2015 Pre-Application”, dan “NTHU Summer Internship 2015”. Terus, coba cek ulang grammar yang kita gunakan. Minta teman atau dosen mengoreksi email kita. Penting loh, karena ini bisa menjadi ‘first impression’ kemampuan bahasa inggris kita bagi Professor. Jangan lupa juga lampirkan CV kita. CV yang baik itu cukup 2 lembar saja maksimal, kalau bisa 1 lembar lebih baik. Untuk detail apa saja yang harus ada di CV, silakan googling sendiri ya. Nanti jadi panjang bahasannya. Ini saya kirimkan contoh email saya ke salah satu Professor di Korea University :

Dear Prof Woong Kim, Ph.D.


My name is Angga Hermawan. I'm currently majoring materials engineering at Institute of Technology Bandung, Indonesia. I'm in 4th year student and I hope I could graduate within this year on July. I got an information about Korean Government Scholarship Program at Korea University (http://www.international.itb.ac.id/web/?p=8052). I'm truly interested to join that Program because I need to pursue my study to higher education level to achieve my future goal, to be materials researcher in my country, especially nanotechnology on energy and electronics application.

One of application requirements states that i have to find a consent at least from one of supervisor at Korea University. I've read some of your lab activities, journals and specializations. I thought it's related to what i'm concerned in. I'm currently working on Lithium Titanate Nanostructure for my final year project. By joining this program, i wish i could deepen and widen my knowledge in nanotechnology on energy and electronics related application. By looking your information, I believe that you're the right person to share with about this topic and the right person to work with. And actually I’d really love to. So, If you don't mind, I want you to be my supervisor when the master program stars later on.

I enclosed my resume.  I am hopping that my research concern is relevant to the research area in your department and you are willing to supervise my work. However, if my research concern is not related to your research interest, I do not mind changing the research topic to your research interest.

If you need further information about me, please do not hesitate to contact me through this email or to my mobile (+6289657394844).

I hope you to reply this email as soon as possible

Thank you very much in advance.


-- 
Best Regards,


Angga Hermawan
Materials Engineering Batch 2011
Institute of Technology Bandung


Menurut pengalaman saya, menghubungi sensei itu gampang-gampang susah. Dari 10 Professor yang saya hubungi, cuma 3 yang membalas, 2 menolak dan 1 yang menerima.  Kalau kamu belum diterima menjadi muridnya, jangan putus asa. Coba lagi ke Professor lain.  

3. Jika kita mendapatkan balasan positif dari Professor, silakan lanjutkan ke arah diskusi yang aktif dan positif. Mulailah dengan mendiskusikan topik penelitian, atau kemajuan tentang penelitian yang kita lakukan. Tidak harus tiap hari, yang penting secara rutin. Saya juga begitu, kalau lagi mendiskusikan topik penelitian, saya sehari sekali mengirimkan email. Tapi ingat, jangan sampai kita terlihat tidak menguasai topik penelitian yang didiskusikan. Sehingga saran saya, sebelum membalas email, coba baca-baca lagi paper Professornya. Untuk lebih mudahnya, siapkanlah proposal nikah riset kita, atau yang lebih dikenal dengan research plan. Sehingga Professor akan tahu seberapa besar keinginan kita dan seberapa dalam pemahaman kita tentang riset kita nanti. Sekali lagi, saya gak akan bahasa research plan disini ya.

Good luck buat yang sedang mencari-cari Professor dan menyiapkan aplikasi untuk melanjutkan menuntut ilmu ke jenjang S2 atau S3. Ganbatte Kudasai!

Selasa, 27 Oktober 2015

Kitayama Matsuri - Geotracking

Tak terasa, sudah mau akhir Oktober aja. Artinya, sudah sebulan saya menetap di Jepang. Artinya lagi, beasiswa pertama bakal turun sebentar lagi! Yuhu! Bisa buat borong baju ini mah, Apalagi sebentar lagi winter. Harus nimbun Indomie sebanyak-banyaknya. Haha
Sekitar semingguan lalu, tepatnya tanggal 18 Oktober, Tim Angklung PPIS diundang untuk mengisi acara di Kitayama Matsuri, semacam festival yang diadakan oleh Kitayama-machi. Kalau diumpamakan dengan Indonesia mah ya ‘Kecamatan Kitayama’ lah. Nah kebetulan, untuk mengisi waktu kosong, saya ikutan deh. Selain bisa semakin kenal dekat ama anggota PPIS, juga bisa ikut mempromosikan kebudayaan Indonesia ke warga Jepang. Karena, mahasiswa yang belajar di luar negeri bisa dianggap sebagai dutanya Indonesia. Bukan duta yang vokalis Sheila on 7 itu ya. Awas nanti kebalik.
Kita membawakan 2 lagu, yaitu theme song Chibi Maruko-chan yang ‘pichara pichara’ ama lagu Bengawan Solo. Walaupun kebanyakan adalah pemain amatiran, bahkan ada yang baru pertama kali pegang angklung, penampilan kita bisa dibilang sangat berkesan, dapat dilihat dari wajah penuh antusias para penonton, yang kebanyakan diisi oleh Kakek-kakek dan Nenek-Nenek. Penampilan angklung kami semakin meriah saat mas heski dan mbak gita menyanyikan lagu Bengawan Solo dalam bahasa Jepang Sebelum ditutup, kami mengajak mereka untuk bermain angklung bersama. Kami mengajarkan cara memegang dan memainkan angklung. Ternyata mereka juga berhasil membawakan lagu sederhana, tapi saya lupa lagunya. Haha. Penampilan diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari para penonton. Oh iya, tanggal 3 November ini juga kami akan kembali tampil di Aoba Kumin Matsuri.


Selain itu, kontingen Indonesia juga mendirikan stand. Tujuannya agar pengunjung bisa mencoba baju baju tradisional Indonesia. Dari anak-anak, mahasiswa sampai yang tua pun tak luput ingin mencoba. Dan inilah foto-fotonya :






Minggu depannya, PPIS kembali mengadakan kegiatan seru. Jalan-jalan. Bahasa kerennya Geo-tracking. Menikmati suasana musim gugur di daerah Yamagata. Dikomandoi oleh Gian, kami berangkat dari Tohokufukushidai eki menuju omoshiroyama dengan menggunakan kereta senzan line. Tarifnya 580 Yen. Omoshiroyama berada di Yamagata Prefecture. Di dalam kereta ternyata sudah ada Bang Dipta, Salman, Mbak Hana, Mbak Yuni dan Mas Adam. Turun di Omoshiroyama, udara dingin langsung menyambut. Waktu itu sekitar 9 derajat lah. Tapi karena pemandangan yang cihui ditambah kombinasi warna dedaunan merah kuning hijau, membuat sebagian dari kami untuk langsung mengabadikan momen. Baik secara selfie, maupun selfie rame-rame. Selfie everywhere pokoknya mah. Sebelum menyusuri track yang sebagian berupa sungai, kami pemanasan dulu. Supaya tidak kram saat di Jalan. Setelah itu, barulah kita berangkat. Belum 5 menit berjalan, kita udah selfie-selfie lagi. Hadeuuh. Kapan sampainya. Haha. Perjalanan sebenernya cukup mudah. Tracknya datar-datar dengan sedikit variasi tanjakan. Namun batu-batu sungai yang licin, serta jalan setapak membuat kita harus ekstra hati-hati. Suasana yang sejuk, gemercik air sungai dan suara burung-burung sangat berkesan, terutama bagi saya. Semua orang siaga dengan kameranya masing-masing, menangkap setiap momen. Tak ada satupun yang luput dari jepretan mereka. Setiap kali nemu view yang bagus, langsung foto. Memang tujuan utamanya sih foto foto. Haha. Yang paling ditunggu adalah saat makan siang. Setiap orang membawa makan masing-masing, kecuali Gian. Dia cuma bawa kotak bento kosong. Gak bilang-bilang dia, kalau gitu mah, saya juga mau ikutan. Hahaha. Mas Adam yang sedari tadi membawa kotak makan besar, langsung dikerubungi oleh manusia-manusia kelaparan. Mbak Yuni akhirnya membagikan makanan2 yang ia buat. Enak mbak. Makasih ya! Buat Mas Gunawan juga terima kasih pecelnya, enak bangeeet. Kapan-kapan minta dibuatin lagi ah. Hahaha.
Kurang lebih dua jam, kami sampai juga di tujuan akhir kita, yaitu Yamadera Shrine. Salah satu tempat wisata di Yamagata. Untuk masuk dan menuju keatas kuil ini, kita harus membayar 300 Yen. Untuk sampai keatas pula, kita harus menaiki anak tangga, yang jumlahnya ratusan mungkin. Tapi semuanya terbayar, ketika kita sampai atas. Pemandangannya juga sangat indah. Ada rumah-rumah yang bercokol ditebing. Selain itu kita juga bisa melihat matahari terbenam, jika beruntung. Kalau tanya sejarahnya tentang kuil ini, jangan ke saya ya. Soalnya kebanyakan pakai Kanji dan aya belum bisa bacanya. :(
Dan ini dia foto-fotonya :




Setelah puas foto-foto kami segera turun ke bawah karena sudah gelap dan udara juga semakin dingin. Bersama-sama lagi menuju ke Tohokufukushidai Eki dengan naik kereta. Oke segitu dulu ya. Ditunggu cerita selanjutnya.

Rabu, 14 Oktober 2015

Dari Gedung Kayu ke Gedung Kayu

Bismillah,
Hai hai semuanya, kali ini saya ingin berbagi cerita (lagi) setelah pindah kuliah ke Jepang. InsyaAllah saya rangkum kegiatan selama kurang lebih 2 minggu ini, mulai dari kedatangan sampai saat ini, karena kalau ngga, bakal jadi beberapa tulisan. Haha. Ini juga postingan pertama saya setelah berubaha status menjadi mahasiswa S2 di Tohoku University. Semoga bisa istiqomah untuk menulis. Langsung aja ya!
27 Oktober 2015, tanggal yang dinanti-nantipun tiba. Antara seneng, deg-degan dan sedih karena harus berpisah (lagi) dengan keluarga. Hari itu diantar juga oleh keluarga. Di Bandara Soekarno-Hatta, saya bertemu dengan Fajar dan Vani, teman satu program master dan doktor selama 5 tahun. Memang dari jauh-jauh hari kami sudah janjian untuk berangkat bareng, karena (sepertinya) lebih rame daripada berangkat sendiri. Singkat cerita, kita naik Japanese Airline (JAL) jam 21.55 WIB dan sampai di Narita International Airport jam 7 pagi. Di dalam pesawat,tak banyak hal yang bisa dilakukan selain duduk dan menikmati in-flight entertainment. Sesampainya di Narita, saya membujuk mereka berdua untuk mengirimkan luggagenya saja (kuroneko) sampai ke rumah/apartment, daripada bawa-bawa koper berat ke Shinjukku. Lagian murah dan sampainya juga sehari. Bagi pembaca yang berkesempatan berkunjung ke Jepang dan bawa banyak koper, bisa langsung kirimkan saja. Infonya bisa dilihat disini ya. 
Kenapa harus ke Shinjukku Eki (Stasiun) dulu? Gak ke Tokyo Eki aja? Terus naik Shinkansen ke Sendai? Jawabannya : MAHAL BRO. KITA MASIH BELUM PUNYA CUKUP UANG. Haha. Jadinya kita memutuskan naik WillerExpress Bus yang 4 kali lebih murah.. Dari Narita, kita naik Skyliner ke Nippori untuk kemudian dilanjutkan naik Yamatone Line. Di Nippori, di Jemput oleh seorang teman yang berkuliah di Tokodai dan dia serta 2 temannya sangat membantu mengantarkan kita ke tempat keberangkatan busnya. Tarraa... Inilah kami!
Dari kiri ke kanan : Angga, Naoki, Fajar, Aki, Kyosuke, Vani

Perjalanan Shinjukku-Sendai memakan waktu sekitar 5 setengah jam. Bus berhenti dua kali di rest area untuk memberi penumpang kesempatan ke kamar kecil atau sekedar menghirup udara segar. Di bis juga saya kerjaannya cuma tidur dan sesekali main game nitendo di Bus. Memasuki kota Sendai, saya melihat banyak gedung-gedung dan pusat perbelanjaan yang modern. Tak sesuai ekspektasi saya sebelumnya, yaitu kota kecil yang dipenuhi pepohonan. Bus akhirnya sampai dan saat di depan pintu bus, ternyata Sensei sudah menunggu. Luar biasa sekali kan. Kami dibawa ke Apato saya di Kawauchi. Didalam mobil ngobrol-ngobrol mengenai perjalanan kami ke Sendai. Sesampainya di Kawauchi, kang Riyan, senior saya waktu di ITB datang menjemput. Kemudian Sensei pamit dan bilang kalau esok harinya Beliau akan menjemput saya untuk mengurus beberapa hal. Kami menuju apato, sambil menunggu kepastian Fajar dan Vani tinggal dimana. Setelah pasti, kami mengantarkan mereka ke Apato Mbak Siti di daerah Kitayama. oh iya, Saya tinggal satu rumah dengan Fuad, B4 Mechanical Engineering dan rumahnya sebelahan dengan rumah kang Riyan dan Mas Ida. Malam itu tidur nyenyak walaupun udaranya dingin. Brrr..
Esok paginya, Sensei datang menjemput. Beliau mengantarkan saya untuk bertemu Yoshioka Sensei di Kampus Aobayama kemudian menuju ke Lab beliau (dan tentunya lab saya juga selama 5 tahun kedepan) di Kampus Katahira. FYI, Tohoku University punya 5 kampus. 2 sudah disebutkan, 3 lainnya adalah Kawauchi, Seiryo dan Amamiya. Dan setelah keliling kampus Aobayama dan Katahira, ternyata memang benar, Sendai itu ‘the city of tree’. Mungkin karena malam kali ya, gak keliatan. Hehe. Saya berkenalan dengan teman-teman di Lab. Total ada 9 orang. 2 Bachelor, 4 Master, 2 Exchange dan 1 asisten Professor. Kemudian dipilihkan meja kerja. Saya memilih yang dekat dengan asisten Professor, biar kalau tanya-tanya tinggal tengok kanan. Haha.

Perjalanan dilanjutkan untuk membuat Inkan, semacam stempel nama yang berfungsi sebagai pengganti tanda tangan kita. Jadi kalau ada administrasi yang perlu ditandatangani, kita tinggal cap saja. Selesai. Canggih ya, atau memang sayanya aja yang ndeso. :D
sumber : http://metropolis.co.jp/

Setelah dapet Inkan, kami makan sushi dulu lalu menuju ke Aoba-ward, semacam kantor kecamatan untuk registrasi kependudukan dan mengurus National Health Insurance. Ramai sekali dan kita mengantri cukup lama. Disitu saya bertemu dengan anak-anak IGPAS (International Graduate Program on Advance Science). Dan tarrrrraaaa, saya doang yang dianterin sensei. Haha. Alhamdulillah dapet sensei yang baik banget. Dilanjutkan dengan membuat rekening di JP bank. Ini juga penting, karena uang beasiswa akan ditransfer ke rekening kita. Selain itu, pembayaran cicilan HP dan listrik akan di auto-debet. Lebih mudah kan. Seharian untuk mengurus ketiga hal itu. Dari pagi sampai sore. Saya diantarkan pulang lagi ke Apato dan besok diminta datang ke Lab sekitar jam 9.30 untuk diberikan pengarahan dan orientasi laboratorium.
Wew. Ternyata udah panjang tulisannya. Yaudah saya persingkat lagi saja ya. Selama 2 minggu ini saya sudah bisa beradaptasi dengan cuaca yang galau ini, kadang dingin, ujan dan panas. Sudah hapal jalan Kawauchi-Aobayama-Katahira-Sanjo-Kitayama. Sekarang juga bisalah dikit-dikit masak. Demi menghemat pengeluaran dan menjamin kehalalan. Kami yang baru-baru juga diberikan orientasi oleh kakak-kakak PPI Sendai, yang periode ini dipimpin oleh Mas Rifqi. Ya acaranya kenalan dan makan-makan pastinya. Kemudian saya ikut main futsal bareng tim PPI-S yang katanya belum pernah juara di Piala Indonesia Tohoku. Gabung di tim bulutangkis PPIS. Ikut latihan Latihan Angklung buat tampil di Kitayama Matsuri. Bantuin makan di Imonikai. Mengikuti orientasi untuk mahasiswa Internasional. Kuliah juga udah mulai dengan sistem dan jadwal yang masih membingungkan. Udah diskusi topik penelitian sampai S-3 nanti. Baca-baca paper juga udah. Tinggal bikin research plan yang belum. ~.~
Suasana Kampus Kawauchi
Kampus Kawauchi. Daun-daunya berwarna-warni, merah kuning hijau.
Kampus Katahira
Kampus Aobayama
Main futsal, harga sewa lapangannya cukup mahal ~.~
Imonikai bareng PPIS. Atas : Mbak Ratri. 
Dari kiri ke kanan : Alwan-Hilmi-Reyhan-Pak Willar

(Masih) Imonikai, kalau ini bareng sensei dan seluruh anggota lab

Dari semua tulisan diatas. Ini adalah inti dari postingan ini. Jadi, yang sebelum-sebelumnya mah ngga usah dibaca. *haha ngeselin*. Iyalah, coba liat aja judulnya. Coba bagian mana yang nyambung? Ngga ada kan. Wkwkwk *makin ngeselin*. Kenapa dikasih judul seperti itu? karena, saat ini saya merupakan mahasiswa International Environmental Leadership Program (IELP) yang dibawahi oleh Graduate School of Environmental Studies (GSES). Nah GSES ini punya gedung yang dinamakan Eco-lab. Eco-lab ini materialnya dibuat dari kayu, yang mengusung konsep eco-friendly building. Masuk gedung ini pun kita harus lepas sepatu dan ganti sama sandal yang sudah disediakan. Dalamnya ada ruang kelas dan ruang seminar. Kalau liat gedung ini, saya selalu teringat dengan bangunan tempat dimana saya belajar, menempa diri dan membangun kepribadian serta karakter selama menempuh pendidikan di Kampus Gajah. Gedung Kayu namanya. Tempat unit-unit Salman bernaung, dan beberapa bidang YPM Salman berada. Banyak kenangan-kenangan yang terselip di dalamnya. Tempat bertemu dengan orang-orang yang kece dan luar biasa. Dan kali ini saya kembali ditempa di Gedung Kayu selama 5 tahun ke depan. InsyaAllah.
Gedung Kayu a.k.a Eco-Lab, Tohoku University

Gedung Kayu Masjid Salman ITB. Agak beda sih, tapi biar tulisan ini ada judulnya aja. XD

Terakhir, yang tak kalah penting, bagi pembaca semuanya yang berminat untuk mengikuti program yang sama dengan saya bisa membuka web ini. Pre-Applicationnya ditutup akhir November ini. Ada beberapa ‘jatah’ yang akan direkomendasikan untuk menerima beasiswa dari Monbukagaksuho atau MEXT. Bisa disimak juga pengalaman saya waktu mendaftar tahun lalu disini. Kalau ada yang ingin ditanyakan bisa lewat email ke angga@mail.tagen.tohoku.ac.jp. Baca baik-baik dulu penjelasan dan persyaratannya. Pertanyaan yang jawabannya sudah ada di website, mohon maaf tidak bisa saya tanggapi.

Sekian dulu ya! Arigatou Gozaimasu.

Jumat, 25 September 2015

Teman Jalan-Jalan

Sebelumnya, hampir semua postingan saya berisikan tentang berbagai pengalaman hidup dan jalan-jalan saya di negara lain. Tapi kali ini, saya ingin menceritakan teman teman travelling. Memang, kalau di foto-foto, saya terlihat selalu asik sendiri. Tak ada yang menemani. *inikenapanyani*. Tapi eits jangan salah, ada beberapa teman setia yang selalu saya bawa ke negara manapun saya pergi. Walaupun tidak bisa berbicara, tapi pengalaman mereka (mungkin) lebih banyak dari pembaca sekalian. Saya tipe yang setia *promosi XD* sehingga tak rela rasanya mengganti keberadaan mereka. Tak usah lama-lama, saya perkenalkan mereka. eng ing eng.....


1. Tas Ransel Syncase. Kalau tidak salah, tas ini saya beli pas tingkat 2 kuliah. Teman tertua. Artinya, tas ini saya bawa ketika saya berangkat ke luar negeri pertama kali, yaitu ke Jerman. Tas ini juga menemani saat ‘ngegembel’ di beberapa negara eropa dan ASEAN. Merasakan dinginnya angin sore di Allianz Arena, menjadi bantal saat merebahkan badan di kursi jalanan kota Paris, pengganti bantal guling penghangat saat perjalanan Frankfurt-Vienna-Prague-Berlin-Frankurt sampai pernah penuh dengan debu saat dikeluarkan dari Bus Malam rute Siem Reap-Phnom Penh. Tas ini juga menjadi pelindung barang-barang dikala hujan seperti saat di Kaoshiung-Tainan. Selain itu, juga pernah menginap di Venetian (sebuah kasino mewah di Macau) serta menjadi teman tidur beberapa malam di Hongkong Int’l Airport. Kalau dihitung-hitung, tas ini sudah ke 13 Negara dan 2 Wilayah Special Administrativenya China. Saat ini, dia sudah bersiap untuk menjadi teman hidup selama 5 tahun (mungkin lebih) di Jepang nanti. Wow. Setianya dirimu. Haha.

2. Sepatu Tomkins. Berbeda dengan tas ransel, barang ini saya beli sebelum berangkat ke NTU, Singapura. Karena sepatu yang sebelumnya sudah tak layak. Sepatu ini juga tak kalah ‘menderitanya’ dengan tas ransel. Sepatu ini pernah dibawa berlari mengejar check-in pesawat kuala lumpur-bangkok, menjelajah Angkor yang sangat panas dan berdebu, serta merasakan dinginnya udara perbatasan Vietnam-Laos yang berada di wilayah pegunungan. Sepatu ini juga sudah singgah ke beberapa tempat sejarah peradaban dunia, menaiki berbagai macam moda transportasi dari kereta sampai tuktuk, sampai ikut tersesat di sebuah pantai antah berantah di wilayah San Juan, Batangas, Filipina. Sepatu ini juga akan tetap ikut mengarungi kerasnya kehidupan Master-PhD di Jepang.

3. Tas selempang kecil. Walaupun kecil, nyalinya besar. Dia mau mau aja saya ajak ke tempat tempat yang belum dia kunjungi. Warnanya yang cokelat, membuat tas ini selalu terlihat elegan walaupun kulitnya sering tersengat matahari dan terguyur air hujan. Tas ini hampir saja tertinggal di bus tengah malam Bangkok-Siem Reap. Tas kecil ini menjadi tempat menyimpan kamera, charger HP, earphone, kadang-kadang passport kalau sedang di Bandara atau Imigrasi, brosur-brosur dan city and tourism map serta itinerary perjalanan lengkap dengan alat tulisnya. Oh ya, pengalamannya hampir sama dengan sepatu Tomkins. Sudah ke 7 Negara dan 2 Wilayah Special Administrative. Luar biasanya, dia tak mau ketinggalan untuk ikut ke Jepang. Saya akan ajak dia merasakan dinginnya salju di Hokkaido nanti!

4. Passport. Ini sih barang yang sudah pasti selalu dibawa kalau kita mau ke luar dari Indonesia. Yaiyalah, yang ada malah kita di cegat di bagian imigrasi kalau kita ngga punya ini. Saya buat passport sekitar bulan September 2012, karena dimotivasi oleh Pak Hermawan. “Passport itu kunci kita keluar negeri. Buat saja dulu, keluar negeri kapanpun tak masalah”. Ya, waktu itu pembuatan passport hanya 255 ribu rupiah udh lengkap dengan sampulnya. Walaupun kurang puas dengan foto diri di passport karena terlihat seperti DPO (Daftar Pencarian Orang), tapi tak apalah, toh udah terjadi ini. Haha. Dan tebak, passport ini baru digunakan setahun kemudian, tepatnya bulan Juni 2013. Jadi sekitar 8 bulan lebih, passport ini saya simpan di bawah tumpukan baju saja. Tambah beberapa hari saja, passport ini udah bisa melahirkan anak pertamanya. Hahaha. Tapi ternyata digugurkan oleh Visa Schengen yang menempel di halaman ke 7 nya. Kira-kira ada 44 ‘tato’ dan 3 ‘koyo’ (Visa, red) yang sudah ditempel di tubuhnya selama 2 tahun bepergian. Sengaja passport ini saya belikan ‘jaket’ bertuliskan World Trip. Tentunya passport ini saya akan bawa ke Jepang, walaupun umur hidupnya tinggal 2 tahun lagi. Huhuhu, sedih jika harus diganti dengan yang baru. :”(

Itulah 4 teman setia perjalanan saya. Semuanya memberikan kesan. Banyak tersimpan pengalaman bersama mereka. Tapi, jujur saya merindukan teman perjalanan yang bisa saya ajak bicara. Merencanakan jadwal, berburu tiket promo dan tempat menginap bersama. Menjelajahi tempat-tempat impian bersama. Menjelajahi setiap nanometer bumi-Nya, bukan sekedar mengabadikan moment bersama, tapi juga untuk mengagungkan kebesaran serta ciptaan-Nya. Ya suatu saat nanti, bersamamu, wahai pendamping hidupku di dunia dan diakhirat. Ini bukan kode untuk seseorang. Serius, bukan. Ini adalah sebuah harapan yang tak hentinya ada dalam setiap doa yang saya panjatkan. :”)

Dan, tak terasa sudah mau berangkat ke Jepang. *baper* 

Minggu, 05 Juli 2015

Huānyíng lái dào Taiwan !

Atas permintaan beberapa orang, saya memutuskan untuk menulis pengalaman Internship di Taiwan yang sudah dijalani selama 2 minggu ini.
----
Setelah menunggu selama 4 bulan lebih, akhirnya tanggal 22 Juni 2015 saya berangkat juga ke Taiwan untuk mengikuti summer internship program selama 2 bulan sampai Agustus nanti. Terima kasih kepada teman-teman Rumah Sahabat sudah banyak membantu dalam persiapan, khususnya Cale yang sudah mau mengantarkan saya ke travel jam 5 pagi. Saya menggunakan pesawat Macan Terbang dan transit di Singapura selama 20 Jam! iya 20 Jam!! Saya kangen sekali dengan Singapura setelah terakhir kali meninggalkan negeri singa itu setahun yang lalu, sehingga saya gunakan kesempatan ini untuk memenuhi hasrat saya. Terima kasih kepada Kang Hendika, Bang Garry dan Bang Yoga yang telah mengizinkan saya untuk bermalam di apartemennya, mengajak saya jalan-jalan ke Bazar Ramadhan dan makan cumi bakar, terima kasih juga buat Ifah yang sudah memasak buka puasa untuk kami semua. Semoga Ifah makin tegar ya. Haha

Setibanya di Taoyuan Intl’ Airport, langsung keluar untuk membeli sim card. Bandara ini cukup besar namun tetap tidak seluas Bandara Soekarno-Hatta. Dari bandara ini saya harus menggunakan Bus untuk menuju Taoyuan THSR (Taiwan High Speed Railway) kemudian menggunakan kereta super cepat itu menuju Hsinchu THSR. Untuk tarif bus dari bandara ke Taoyuan THSR adalah 30 NT. Saya pakai Ubus. Tinggal ikuti saja tanda ‘Bus to High Speed Rail’. Perjalanan kurang lebih 25 menit. Sampai di Taoyuan THSR saya harus mengantri lagi, cukup panjang antriannya. Tarif dari Taoyuan ke Hsinchu adalah 140 NT, dan perjalanannya cuma 10 menit! iya 10 menit, padahal jaraknya itu sekitar 50 km.
Taoyuan Airport

Tiba di Hsinchu THSR saya langsung disambut dengan hujan deras. Awalnya saya akan naik Shuttle Bus gratis ke National Chiao Tung University (NCTU), tapi karena hujan, bawa banyak barang dan malam hari akhirnya saya memilih menggunakan taksi saja. Supir taksi disini jarang yang bisa berbahasa Inggris, karenanya saya menunjukkan kertas yang bertuliskan alamat National Tsing Hua University (NTHU) serta nama dormnya. Dengan bantuan mahasiswa lokal, kami menemukan tempatnya dan dia membantu saya untuk mendapatkan kunci kamar. Terima kasih ke Mbak Elma dan Mochtar yang menemui saya di dorm dan memberi makanan berbuka puasa. Mbak Elma juga meminjamkan kasur, bantal dan selimut untuk saya pakai selama internship. Setelah beres-beres kamar, saya berkenalan dengan roommates yang berjumlah 3 orang. Tak lama, saya tidur karena harus sahur jam 3 pagi.
Taoyuan HSR Ticketing Counter

Hsinchu HSR malam hari

Esoknya, saya diajak oleh Mani, anak PhD asal India yang menjadi partner riset selama internship untuk ke subgroup meeting bertemu dengan Prof. Chueh dan beberapa lab members lain. Prof. Chueh menyampaikan beberapa hal terkait internship, dan apa yang harus saya lakukan selama disini. Saya dikasih working desk yang cukup nyaman agar memudahkan saya untuk bekerja dan beinteraksi dengan yang lain. Selama kurang lebih 12 hari mengerjakan penelitian, saya awalnya menemukan banyak kesulitan karena topik yang dikerjakan merupakan hal yang baru, ditambah banyak peralatan yang tidak saya temui di ITB. Tapi, Mani selalu membantu, dia menjelaskan banyak hal. Sehingga dalam 12 hari ini, alhamdulillah banyak pengetahuan yang saya dapat. Tiap minggu setiap orang harus memberikan weekly report tentang pekerjaan yang sudah dilakukan serta hasil didapatkan, ditambah kegiatan selama seminggu kedepan. Sehingga Prof Chueh bisa mengontrol kegiatan kami dan memberikan saran-saran yang sangat kritis. Saya kira 7 minggu kedepan akan terus seperti ini. :")

Walaupun ini bukan pertama kalinya tinggal di luar negeri dalam waktu yang cukup lama, tapi pengalaman berpuasa di negeri yang minoritas muslim adalah hal baru dan cukup menantang. Bayangkan saja, waktu imsak disini sekitar jam setengah 4 dan waktu berbuka puasa sekitar jam 7. Artinya sekitar 15 jam berpuasa. Memang tidak begitu berat jika dibandingkan dengan saudara-saudara muslim kita di Eropa Utara yang harus berpuasa 20 Jam, namun bagi saya ini cukup berat karena setiap hari harus berhadapan dengan cuaca panas 37oC ditambah kelembaban yang tinggi sehingga mudah sekali berkeringat. Tapi, alhamdulillah tubuh ini cukup cepat beradaptasi sehingga tidak pernah terasa walau harus berpuasa lebih lama. Kenikmatan lain yang saya rasakan adalah ketika berbuka puasa. Di NTHU, tidak terdapat masjid ataupun mushola, sehingga saya harus berjalan ke kampus sebelah, yaitu NCTU yang mempunyai satu mushola yang dikelola oleh Muslim Society Club (MSC) NCTU. Disana saya bertemu dengan banyak muslim dari berbagai negara, dan tentu anak Indonesia masih mendominasi. Satu persatu saya berkenalan dengan anak Indonesia yang mayoritas sedang mengambil Master dan Doctor. Semuanya sangat baik dan saya sudah anggap mereka sebagai keluarga baru saya disini. Hampir setiap hari saya pergi kesana, dari 15 menit menjelang magrib sampai setelah selesai sholat tarawih. Kadang jika ada nasi dan lauk berlebih, saya bawa untuk sahur. Jadi saya bisa menghemat untuk pengeluaran makan. Hehe.
Suasana Berbuka Puasa


Terakhir, saya ingin mengulang syair Imam Syafii  

"Merantaulah..
Orang berilmu dan beradab, tidak diam beristirahat di kampung halaman..
Tinggalkan negerimu dan hiduplah di negeri orang..
Merantaulah..
Kau kan dapati pengganti dari orang-orang yang kau tinggalkan..
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup kan terasa setelah lelah berjuang.."


Syair ini selalu menginspirasi dan penyemangat ketika saya tinggal di negeri orang.


- Materials Science and Technology Building room 308 -

Selasa, 05 Mei 2015

Siem Reap bukan hanya Angkor Wat

             Namanya Mr. Kham, umur sekitar 45 tahun, berkulit sawo matang. Ya, dia yang akan mengantarkan sekaligus menjadi tour guide ku untuk berkeliling Siem Reap dan Angkor Wat hari ini. Aku hanya punya waktu 9 jam sebelum berangkat ke kota berikutnya, Phnom Penh. Segera aku minta untuk mengantarkanku ke Kaunter Tiket masuk Angkor Wat. Ditengah perjalanan kami berbincang-bincang. Dari situ aku tau bahwa dia sudah bekerja sebagai tukang ojek selama kurang lebih 15 tahun, dari mulai Angkor Wat yang belum terkenal, sampai dikunjungi oleh banyak wisatawan seperti sekarang. Dia belajar bahasa Inggris bukan dari sekolah formal,  tapi dari sesama tour guide. Dari situ, dia mulai berlatih untuk bisa menjelaskan segala hal tentang Angkor Wat.
            Sampai juga di Kaunter Tiket setelah 15 menit perjalanan. Harga masuk Angkor Wat untuk satu hari adalah $20. Harga yang cukup mencekik bagi para Turis, cukup mahal juga jika dibandingkan dengan tiket masuk Candi Borobudur atau Candi Prambanan. Mungkin ini yang jadi devisa paling besar bagi Kota Siem Reap : Uang Turis. Promosi yang gencar dari pemerintah Kamboja sekaligus pernah dijadikan tempat syuting film Tomb Rider yang dibintangi oleh Angelina Jolie menjadikan Angkor Wat salah satu destinasi wisata yang menarik dikunjungi di Asia Tenggara. Aku jadi makin penasaran seberapa megah kah Angkor Wat jika dibandingkan dengan Candi-candi di Indonesia. Aku simpan rasa penasaranku karena perut yang minta diisi. Aku minta diantarkan dulu untuk makan siang ke restaurant muslim. Dia bilang dia tau dimana letaknya. Kita pun meluncur kesana.
            Masuk jalan dan gang gang kecil, sampailah aku di restaurant muslim itu. “Cambodian Muslim Restaurant”, ya begitulah kira-kira namanya. Saat itu restaurant sepi sekali. Tak ada satu pun pengunjung.
Aku memesan menu yang paling murah, ayam cincang dan 2 porsi nasi.  Ini caraku agar bisa tetap bertenaga saat travelling. Setelah selesai makan, aku minta diantarkan ke Masjid untuk sholat. Aku sebenarnya tak yakin ada Masjid disini, tapi kata penjaga restaurant yang juga seorang muslim, ada masjid tidak jauh dari sini. Dan aku hampir saja lupa kalau hari ini adalah hari Jumat. Aku baru sadar saat menuju Masjid, dimana banyak orang-orang yang menuju ke tempat yang sama. Populasi muslim disini cukup banyak, Aku agak kaget juga. Di negara yang dahulu terkenal dengan genosida nya ini, populasi muslim masih bisa bertahan, bahkan terus berkembang. Mr. Kham menyalakan motornya. Dia dengan sabar menungguku menyelesaikan urusan perutku. Setelah memberikan sejumlah Dollar kepada pemilik restauran, kami menuju masjid. Jaraknya sekitar 10 menit dari restauran. Ditengah perjalanan, aku melihat puluhan laki-laki dengan pakaian khas arab berjalan ke arah yang sama.
Who are they, Mr.Kham?” tanyaku.
They are muslim people, same as you. There is only one mosque nearby”. Oh pantas saja, cuma ada satu masjid disekitar sini. Tak lama kemudian, aku melihat sebuah bangunan berwarna krem kekuningan dengan kubah dan menara berwarna putih. Tidak salah lagi, itu masjid yang kami tuju. Kesan pertama, lingkungan di sekitar masjid gersang, tandus dan berdebu. Cukup jauh berbeda dengan yang aku lihat di sepanjang jalan kota Siem Reap yang begitu bersih dan Rapi. Masjid An-Ni’mah. Nama masjid yang ditulis dalam bahasa arab gundul yang terpampang pada gerbang Masjid. Ditambahi pula oleh tulisan khmer yang aku tak tahu artinya. Aku turun dan meminta Mr. Kham untuk menunggu di sekitaran Masjid saja sampai Jum’atan selesai. Dia berteduh di teras rumah. Memang hari ini terik sekali matahari. Aku masuk, kemudian mengambil air wudhu dilanjutkan dengan sholat sunnah 2 rakaat.
Satu- persatu jamaah berdatangan. Shaf-shaf mulai terisi penuh. Kumandang adzan dibawakan merdu oleh muadzin. Khutbah jum’at kali ini disampaikan dalam bahasa Khmer, bahasa nasional Kamboja. Jujur, sepanjang khutbah aku menerka-nerka apa isi khotbah tersebut. Dari suaranya, sang khatib sangat bersemangat dan menggebu-gebu menyampaikan khotbah ini. Aku masih tak mengerti apa maksud dari khotbah jumat tadi. Selesai sholat aku memberanikan diri bertanya kepada salah seorang muslim di sana, sambil aku juga ingin mendengar cerita mengenai sejarah kampung muslim di Siem Reap ini.  Kemudian aku dikenalkan dengan salah seorang ulama disana, aku lupa namanya, tapi sebut saja Ustadz Yusuf. Kami duduk-duduk di dalam masjid, dekat mimbar. Aku mengenalkan diri sebagai turis dari Indonesia yang sedang melakukan perjalanan mengelilingi Asia Tenggara. Dia tahu Indonesia dari turis-turis yang datang ke Siem Reap ini.
Aku bertanya beberapa pertanyaan, tujuannya untuk mengetahui lebih dalam asal-usul komunitas muslim di Siem Reap Ini. Ustadz Yusuf mulai bercerita dengan bahasa Inggris yang cukup bisa dimengerti diselingi bahasa Melayu. Beliau mengatakan ada 4 masjid di provinsi Siem Reap. Salah satunya masjid An-Nikmah ini. Mereka menamakan diri mereka sebagai Muslim Cham. Ada sekitar 600,000 Muslim Cham yang tersebar di seluruh wilayah Kamboja. Salah satunya di kampung ini, kampung Steung Thmey namanya. Aku bertanya bagaimana asal mula agama islam masuk ke Kamboja. Beliau kembali bercerita, menjawab apa yang aku tanyakan. Dahulu, di daerah Vietnam Utara dan masuk sedikit wilayah China, terdapat sebuah kerajaan yang bernama Champa. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan hindu di Asia Tenggara di abad 17. Syiar Islam masuk dan diterima baik di Kerajaan Champa, kemudian mendarah daging ke masyarakat. Namun, saat terjadi Invasi dari kerajaan-kerajaan sekitarnya yang berasal dari China dan Burma, kerajaan hancur dan penduduknya tercerai berai ke daerah-daerah di Vietnam, Kamboja, Laos. Malaysia dan Wilayah Selatan Thailand. Aku seperti berwisata sejarah. Membayangkan bagaimana Islam seakan menjadi ancaman. Ustadz Yusuf menambahkan kalau, komunitas muslim Cham di Siem Reap tidak sebanyak di Ho Chi Minh. Rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku bertanya, bagaimana komunitas muslim masih bisa bertahan sampai saat ini. Pemerintah mendukung. Ya, katanya pemerintah cukup mendukung dengan kegiatan muslim di Siem Reap. Keberadaan mereka menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan muslim yang berkunjung ke Angkor Wat. Pemerintah mempermudah pendirian restaurant-restaurant halal di sini. Walaupun dari segi pendidikan dan fasilitas, kami merasa ada diskriminasi. Namun, bertemu dengan saudara-saudara muslim dari seluruh penjuru dunia, membuat kami merasa senang. Satu pertanyaan terakhir dariku yang penasaran dengan isi khutbah tadi. Ustadz Yusuf paham kalau aku tidak mengerti. Intisari dari khutbah jumat yang disampaikan adalah pentingnya meningkatkan rasa syukur dengan apa-apa yang didapatkan. Tidak perlu mengeluh dengan keadaan muslim Cham di Siem Reap. Kami masih diberikan ketentraman untuk hidup. Tidak seperti saudara-saudara Muslim kita di Rohingya dan Palestina yang hampir setiap hari, bahkan setiap detik, kematian bisa datang menghampiri. Suara-suara tembakan, roket, bom tidak dirasakan di sini. Tidak lupa kami juga memanjatkan doa bagi mereka agar selalu diberikan ketabahan. Siang ini, kami menggalang bantuan dana bagi muslim disana. Aku sangat kagum dengan mereka, walaupun sebagai minoritas yang penuh keterbatasan, namun tak menurunkan semangat mereka untuk berbagi.
Tak terasa sudah jam 2 siang. Aku memutuskan untuk berpamitan karena ingin mengunjungi Angkor Wat yang tiketnya sudah kubeli. Dia menawarkan adiknya untuk menjadi supir tuk-tuk. Aku bilang kalau aku sudah menyewanya tadi pagi. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih karena telah memberikan banyak cerita sejarah yang tak pernah aku dapatkan. Aku memberikan koin rupiah untuk kenang-kenangan. Didepan masjid, Mr. Kham sudah menunggu dengan wajah kepanasan. Aku mengucapkan salam kepada Ustadz Yusuf dan berharap bisa bertemu lagi dilain hari, walaupun aku yakin beliau akan ingat denganku. Aku bersama Mr.Kham kembali menyusuri jalan berdebu yang disekitarnya aku melihat Ibu-Ibu sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangganya, dan anak-anak yang sedang bermain. Senyum di wajah mereka, telah menghilangkan rasa lelah yang sedari tadi menyelimuti. Setelah ini, aku semakin bersemangat untuk menyelesaikan perjalanan ini. Terima Kasih Mr. Kham, karena telah membawaku ke sisi lain Kota Siem Reap.

***

Mobil Barang

          Bus yang aku tumpangi sesaat lagi sampai di perbatasan. Aku menanyakan ke penumpang sebelah untuk memastikan. Ya, ini sudah sampai di Rong Klua. Tujuanku menuju Siem Reap sudah semakin dekat. Saat itu masih pagi. Tempat itu seperti pasar tradisional. Aktivitas jual-beli selayaknya seperti di Indonesia. Sopir tuk-tuk juga berlalu lalang mengantarkan pembeli dari dan menuju pasar. Aku turun disitu dan berjalan-jalan untuk mencari sesuap makanan. Sulit sekali untuk sekedar membeli makanan, keterbatasan bahasa menjadi penghalang. Aku segera saja menuju Poipet, wilayah terluar Kamboja tepat bersebelahan dengan Rong Klua. Aku banyak mendapat cerita jika border antara Thailand dan Kamboja ini salah satu yang paling rawan penipuan, terutama bagi turis asing berkulit putih. Penipuan ini disebut scam oleh komunitas backpacker. Scam bisa berupa penaikan harga visa dari agen-agen tak resmi. Visa tetap berlaku, tapi tentu ada mark up harga.  Aku sendiri tidak memerlukan visa untuk memasuki wilayah Kamboja, jadi aku ambil jalur yang non-visa. Walaupun banyak agen-agen yang menawarkan, aku tinggal menunjukkan passportku saja dan mereka langsung diam. Hari itu saya jarang sekali melihat turis melalui rute ini, mungkin karena sudah banyak pesawat dari Bangkok ke Siem Reap. Aku berencana melanjutkan perjalanan dari Poipet ke Siem Reap dengan menggunakan Taksi. Untuk menghemat biaya, saya harus mencari 3-4 orang wisatawan lain yang memiliki tujuan yang sama. Namun, rencana ini harus aku pikir ulang karena tidak ada turis yang terlihat.
            Setelah passport di cap, aku langsung dikerubuti oleh para tukang ojek yang menawarkan jasa ke terminal bus Poipet. Aku tak langsung menyetujui sampai akhirnya ada salah seorang yang menawarkan untuk mencarikan taxi dengan harga seperti biasa, yakni 15 USD. Aku segera menyetujui. Tapi, sebelumnya aku minta diantarkan ke money changer, karena aku tak memegang USD sama sekali. Memang, di Kamboja ada 2 mata uang resmi, USD dan Riel. Keduanya digunakan, namun USD jadi pilihan utama. Di sini kesalahanku, aku menukarkan uang di Border paling kejam ini. Nilai tukarnya sangat rendah sekali. Sehingga aku rugi beberapa puluh dollar. Tapi karena sudah terlanjur, ditambah lagi aku hanya seorang diri, jadi aku terima saja walaupun ada perasaan gondok sekaligus menyesal. Aku  diminta menunggu di sebuah tempat tepat di belakang pasar. Aku mengira yang datang adalah taxi, namun sangkaku salah. Yang akan mengantarkanku hanya sebuah mobil warga lokal yang akan menuju Siem Reap. Itu pun mobil sedan yang sudah cukup tua. Ditambah lagi, mobil sudah terisi oleh 5 orang. Satu supir dan 4 orang anggota keluarga lainnya. Bukan cuma itu, di dalam mobil juga sudah menumpuk barang2 dagangan yang akan mereka jual di sana. Kepalang tanggung, aku langsung masuk saja, sambil menaruh tasku di bagasi. Aku duduk di kursi bagian belakang, dihimpit oleh 3 orang lain. Sempit sekali rasanya. Posisi kakiku juga tak nyaman, karena harus ada di atas barang dagangan. Jangankan ingin meluruskan kaki, menggerakkan badan saja susahnya setengah mati.
            Aku tak bisa membayangkan aku harus menikmati perjalanan dengan posisi seperti ini. Lama perjalanan yang harus kutempuh kurang lebih 6 jam. Dengan situasi seperti ini, aku tidak mau dirugikan. Aku tawar saja harganya menjadi 10 USD, atau saya cari mobil lain. Mungkin karena terdesak butuh uang, tukang ojek tadi menyetujui dan mengatakan ke sang supir. Sepanjang perjalanan, aku cuma bisa diam. Tak ada sepatah kata pun yang aku ucapkan. Mereka tak mengerti bahasa Inggris, dan aku tak mengerti bahasa mereka. Hanya senyuman yang terlempar dari dari wajah mereka. Aku menyebutnya senyum keheranan; karena mungkin dalam benak mereka, kok bisa anak muda seperti ku ini melakukan perjalanan seorang diri di negeri asing yang bahkan aku tak mengerti bahasanya. Tapi aku yakin, di balik senyuman itu, ada rasa ingin tahu dari mana aku berasal dan kenapa aku bisa sampai sini. Segera saja aku ambil kertas yang berisi itinerary perjalanku serta pulpen di saku depanku. Aku coba gambar peta Asia Tenggara, semirip mungkin. Aku juga gambar titik dimana negara mereka dan dimana Indonesia. Dengan bahasa isyarat, aku jelaskan sebisanya. Mereka menggangguk-angguk, walau aku yakin mereka tak sepenuhnya paham. Tak apa, paling tidak aku sudah mengenalkan dimana letak Indonesia.
            Aku coba memejamkan mata berharap waktu cepat berlalu. Tapi aku tak bisa. Keadaan dalam mobil yang panas ditambah oksigen yang tak proporsional dengan jumlah orang di dalam, berhasil membuatku berpeluh keringat. Mereka menawarkan kipas. Tentu aku terima. Dalam hal ini, mereka mengerti tanpa aku memberi isyarat.
         Tanda-tanda sampai di Siem Reap sudah semakin dekat, ditandai dengan makin banyaknya pemukiman di kanan kiri jalan. Terlihat pula candi-candi tempat peribadatan Agama budha yang menjadi agama mayoritas. Di depan aku lihat ada Gapura yang menyambut kedatangan kami. Jalanan menuju Siem Reap ini cukup sepi, hanya beberapa kendaraan pribadi yang melintas. Keadaannya bersih, walaupun udaranya panas. Aku diturunkan di pinggiran kota oleh sang supir, sekaligus memanggil seorang tukang ojek. Aku sedikit protes, kenapa aku diturunkan disini. Padahal sesuai perjanjian, aku meminta diturunkan di sekitar Angkor Wat. Percuma, mereka tak mengerti. Aku bayarkan saja 10 USD dan mengambil tas ranselku. Setelah mereka pergi, aku mengatakan kalau aku ingin pergi ke Angkor Wat kepada sang tukang ojek. Karena memang dia sering mengantar turis-turis kesana, syukurlah dia mengerti bahasa Inggris. Aku bertanya harga, katanya 15 USD untuk satu hari. Aku tawar 10 USD. Dia setuju-setuju saja. Aku meminta untuk diantar ke kaunter tiket dahulu sebelum ke restaurant. Di tengah jalan, dia bertemu teman-temannya yang juga memiliki profesi yang sama. Pemandu wisata. Lebih tepatnya Pengantar Wisatawan. Disana, aku diberitahu kalau pakai ojek itu 15 USD dan pakai tuk tuk 20 USD. Aku tetap memaksa 10 USD sesuai harga awal. Lagi lagi, aku cuma seorang diri di sini. Keadaan yang mengharuskanku menerima ini. Oke, deal 15 USD untuk satu hari dengan syarat mengantarkan kemanapun aku mau, bukan cuma ke Angkor Wat. Kami berjabat tangan, deal. 
***