Pages

Minggu, 22 Maret 2015

Selembar Kain Keikhlasan

Cerita sebelumnya buka link berikut : Chasing A Flight
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
        “Ladies and gentlemen, welcome to Don Muang International Airport. Local time is 9 pm and the temperature is about 25oC begitulah kira-kira suara dari cockpit yang ku dengar. Agak samar-samar karena tubuh ini baru setengah sadar. Tak terasa pesawat akan segera landing. Aku pun membenarkan posisi kursi yang sedari tadi aku sandarkan ke belakang.
            “Dug.. “ rupanya proses landing tidak begitu mulus. Dengan membawa satu ransel dan tas kecil, aku melangkah cepat menuju loket imigrasi agar bisa mengisi perut yang sedari tadi minta diisi. Keluar dari terminal, aku melihat sekeliling untuk menemukan bus A1 yang menuju ke Mo Chit Terminal atau Northeastern Terminal. Penampilan dari bus ini seperti Damri atau Kopaja di Jakarta. Berumur tua, agak kusam dan knalpot yang mengeluarkan asap cokelat.
            Aku naik dan bertanya kepada sang supir yang ternyata seorang wanita, untuk meyakinkan apa benar bus ini menuju ke Mo Chit Bus Terminal. Dengan aksen thailand yang khas, wanita itu menjawab ya, tapi akan memakan waktu karena jalanan bangkok yang macet. Aku duduk di dekat jendela agar memudahkan melihat pemandangan malam di kota yang terkenal dengan sebutan Venice dari timur ini. Tak jauh berbeda dengan Jakarta, ada banyak gedung tinggi, kelap kelip lampu jalanan, tak ketinggalan hilir mudik kendaraan dan padatnya arus lalu lintas. Pada situs backpacker yang sebelumnya aku buka, tarif bandara-terminal sekitar 20 bath. Ketika kondektur bus berkeliling untuk meminta ongkos kepada penumpang, aku menyerahkan uang sejumlah itu. Sang kondektur kemudian mengembalikan uangku. Dia bilang uangnya kurang. Tapi aku bersikeras bahwa tarifnya memang segitu. Aku tidak mau tarifnya di mark up hanya karena aku seorang turis. Aku bertanya ke penumpang disebelahku. Katanya memang tarifnya sudah naik. Aku merogoh sisanya dan memberikan ke kondektur. 30 menit sudah berlalu, satu persatu penumpang mulai turun,  tapi belum tanda-tanda bus ini akan sampai tujuan. Aku khawatir bahwa terminal sudah terlewat. Kekhawatiranku muncul ketika aku tidak sepenuhnya yakin sang supir mengerti ke mana arah tujuanku.
BTS Mo Chit? Here is BTS Mo Chit” kata kondektur kepadaku. Aku kaget, karena itu bukan tempat tujuanku. BTS berbeda dengan Terminal. BTS adalah nama stasiun untuk MRT di Bangkok. “No.. No.. I want to go to Mo Chit Bus Terminal” jawabku dengan melambatkan suaraku berharap dia mendengar jelas tujuan akhirku. “It’s the next stop” sambil mengacungkan telunjuknya ke arah kanan. Huft, lega rasanya karena aku tidak salah naik Bus.
Waktu menujukan pukul 10 ketika aku sampai di Terminal Bus. Aku segera mencari-cari keberadaan bus yang akan membawaku ke Aranyaprathet, border antara Thailand dan Kamboja. Aku bertanya kepada penumpang lokal, namun tidak ada yang mengerti apa yang aku katakan. Keadaan bertambah bingung ketika hampir semua petunjuk di terminal itu berbahasa Thailand. Jangankan mengetahui artinya, membacanya pun aku tidak sanggup. Aku menuju ke kantor keamanan di dekat gerbang, untungnya ada petugas yang sedikit mengerti bahasa Inggris. Aku diarahkan untuk menuju ke gedung terminal utama, karena semua loket perusahaan bus terletak di sana. 
Keadaan di dalam gedung tidak seperti yang ku bayangkan, walaupun agak sedikit berantakan tapi posisi dari kaunter tiket, minimarket, restaurant, dan para pedagang sangat teratur. Setelah bertanya ke sana kemari, naik dan turun, aku menemukan loket tersebut. Loket seperti wartel dengan bertuliskan Bangkok-Aranyaprathet itulah yang aku cari. Tapi loket terlihat tutup dari kejauhan, aku bertanya ke kaunter tiket lain yang berada disampingnya. Katanya baru akan dibuka jam 3 pagi, karena keberangkatan Bus jam 3.30 Pagi. Aku juga bertanya apa ada bus lain yang lebih awal, tapi jawabannya negatif, satu-satunya bus ke Aranyaprathet memang hanya itu. Memang ada alternatif lain menggunakan Bus Bangkok-Phnom Penh, tapi keberangkatannya jam 7 pagi dan tapi tarifnya mahal sekali, diluar budget perjalananku. Akupun dipaksa menyerah oleh keadaaan.
“kruyuk..kruyuk..” suara perutku yang kembali meronta ronta minta segera diisi. Aku menuju restaurant yang masih berada di dalam gedung yang sama. Nampaknya keberuntunganku belum tiba, menu makanan di restaurant semuanya menggunakan bahasa thailand, bahkan salah satu makanan cepat saji pun ikut-ikutan. Satu-satunya yang bisa membantuku hanya gambar. Ya, gambar makanannya. Kulihat sekeliling pun, tidak ada seorangpun turis. Karena tak mau ambil resiko untuk memakan makanan yang tidak halal, aku segera saja menuju supermarket untuk membeli cemilan. Aku berkeliling untuk mencari makanan dan minuman yang terdapat logo halal oleh lembaga islam di bangkok. Ada beberapa makanan yang di beri tanda halal. Aku membeli 3 roti, 1 botol susu dan 1 kaleng minuman isotonik.
Aku mencari tempat duduk yang dekat dengan sumber listrik untuk mencharge handphone yang sudah mati ketika di Malaysia. Tapi tampaknya tak ada tempat duduk yang dekat. Sumber listrik yang ada hanya dekat pintu masuk, sehingga sedikit menghalangi jalan. Tapi demi kemudahan berkomunikasi esok hari dengan teman di Kamboja, aku tak peduli dengan itu. Aku duduk di dekat pintu masuk dimana banyak orang berlalu-lalang. Aku charge baterai handphone dan kameraku. Aku juga mencari sinyal Wi-Fi yang gratis, sekedar untuk bertegur sapa dengan orang tua. Tak disangka, ada juga Provider lokal yang menyediakan Wi-Fi gratis tanpa harus membeli paket. Cukup melakukan registrasi dan aku pun bebas menikmati fasilitas ini. Aku juga memberitahukan teman yang di Bangkok, bahwa aku sedang di bangkok, dan memintanya untuk menjemputku. Dia menanggapnya serius. Aku katakan, aku ingin menjadi warga lokal dan berbaur dengan mereka. Aku juga ceritakan semua kejadian hari ini.
Tak lama berselang, ada petugas terminal yang memintaku untuk pindah, karena menghalangi jalan. Sebelum memintaku pindah, dia bertanya mau kemana. Wajar memang, dari penampilanku, aku terlihat kusut sekaligus menenteng ransel yang cukup besar. Aku jawab saja kalau aku sedang menunggu bus ke Border jam 3 pagi sambil memperlihatkan muka harapku. Dia rupanya tak iba dan tetap memintaku pindah. Aku pun pindah ke bangku dan meninggalkan smartphone ku di tempatnya. Aku cukup mengawasinya dari bangku sini. Aku rasa terminal ini cukup aman.
Setelah terisi cukup penuh, baik perut maupun smartphone ku, akupun ingin merebahkan badanku yang lelah ini. Aku mencari bangku terminal yang kosong. Aku gunakan ransel sebagai bantal dan hanya berselimutkan jaket cokelat yang sudah bau keringat. Malam itu cukup dingin, karena pintu terminal yang selalu terbuka. Seorang ibu yang sedang tidur tepat dibangku yang berhadap-hadapan denganku, menyodorkan sehelai kain untuk melindungi tubuhku dari udara dingin itu. Mungkin ibu itu merasa kasihan terhadapku. Aku menerimanya dengan senang hati dan mengucapkan terima kasih dengan bahasa Thailand tentunya.
Jam 3.15 alarmku pun berbunyi, aku segera bangun untuk antri membeli tiket. Ibu yang memberikan kain semalam sudah tak terlihat di depanku. Aku melihat sekeliling, namun tetap tak menemukannya. Aku segera menuju loket dan menyerahkan uang bath sejumlah yang tertera di kaca loket. Aku diberikan tiket. Aku juga diminta hati-hati ketika sampai di border. Aku mengiyakan. Aku menuju pintu keluar untuk masuk ke dalam bus yang sedari tadi sudah memanaskan mesin mobilnya. Aku lipat kain pemberian sang ibu dan memasukannya dalam tas. Kain ini nantinya akan menemaniku selama perjalanan. Dari sehelai kain ini pula, aku belajar tentang keikhlasan. Keikhlasan untuk menolong sesama yang tak menghiraukan perbedaan budaya dan adat-istiadat. Ikhlas memang tak terucap darinya, tapi dengan seuntai senyuman, dia mengatakan apa yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. 
***

Sabtu, 21 Maret 2015

Very Beginning of New Life Journey

Ditengah-tengah penatnya pengerjaan Tugas Akhir yang hampir menguras waktu, tenaga, pikiran sampai isi dompet, saya ingin berbagi cerita mengenai beasiswa yang baru saja saya terima mulai dari proses sampai tips dan triknya. Semoga bermanfaat!

Sebelumnya, saya ingin mengumumkan bahwa Alhamdulillah saya diterima di Tohoku University melalui program International Environmental Leadership Program (IELP). Program ini diselenggarakan oleh Graduate School of Environmental Studies. Program ini sebenarnya salah satu dari banyak Priority Graduate Program (PGP) yang dibiayai oleh MEXT atau yang lebih dikenal dengan Monbukagakusho. Program-program yang lain bisa dilihat di web ini. Insyaallah, saya akan menjalani kuliah S2-S3 selama lima tahun di kampus yang terletak di kota Sendai tersebut.

Saya akan mulai cerita dari awal. Bulan November akhir tahun lalu, salah satu dosen di Jurusan mengumumkan bahwa sedang ada pendaftaran IELP untuk tahun 2015 dan ditempel di mading depan Tata Usaha Teknik Material dan bagi yang berminat bisa menghubungi beliau. Awalnya saya kurang tertarik, karena alasan pertama adalah Tohoku University/Tohoku Daigaku atau biasa disingkat Tohokudai bukan kampus impian saya, walaupun Jepang masuk dalam daftar ‘must visit countries’. Alasan kedua karena melihat dari judul programnya, sangat jauh dari minat dan topik tugas akhir saya. Jadilah saya abaikan pengumuman itu. Selain pengumuman yang ditempel, kakak kelas saya (Teknik Material 2010) yang diterima diprogram IELP 2014 memposting pengumuman lebih detail. Setelah saya lihat-lihat, ternyata kita boleh mengambil jurusan yang berafiliasi dengan Graduate School of Environmental Studies (GSES). Dari situ mulai kepo mengenai program ini. Mulai dari tanya-tanya sampai mencari semua Informasi tentang Tohokudai.

Setelah membaca dan memahami persyaratannya, saya memberanikan diri untuk menghadap dosen yang memberi pengumuman untuk mengatakan bahwa saya minat ikut program tersebut. Setelah ngobrol, saya kira akan diberikan kontak professor disana, tapi ternyata harus mencari Professor  sendiri. Walaupun sudah cukup pengalaman dalam mengontak dan berdiskusi dengan professor di NTU lewat email, tapi ini berbeda. Saya akan mengontak orang yang tak saya kenal, dan dia tak kenal saya. Memang, dalam salah satu proses Pre-application IELP ini, semua pendaftar harus sudah diterima oleh seorang Professor di Tohokudai, kalau tidak, maka aplikasinya tidak akan diterima.

Next, saya jelajahi semua lab yang ada afiliasi dengan GSES, dan ada beberapa lab yang sangat dekat dengan topik tugas akhir salah satunya Environmental Inorganic Material Chemistry Laboratory yang dikomandani oleh Prof. Tsugio Sato dan Assoc. Prof. Shu Yin. Melihat research topic dan publikasinya, sepertinya sesuai minat saya di sintesis nanomaterial untuk berbagai aplikasi khususnya lingkungan.

Pagi hari, sekitar jam 5 pagi, saya mengirim email kepada Prof. Sato, dan berharap bisa segera dibalas, karena deadline aplikasi tinggal 2 minggu lagi. Tapi, sampai esok harinya tak ada satupun email yang masuk. Padahal, saya sudah memilah-milah kalimat agar menarik untuk dibaca. Usaha tak sampai disini, saya mencoba mengemail kepada Prof. Yin. Tapi sama saja tak ada balasan. Saya mulai mencari lab lain sekaligus berkonsultasi dengan kakak kelas disana. Dia menyarankan agar saya menemui Prof. Kimura di kantor Perwakilan Tohoku University di IRO ITB. Saya mengemail Prof. Kimura untuk membuat janji, dan diminta untuk bertemu setelah makan siang dikantornya.

Kantor perwakilan Tohokudai terletak di lantai 2, gedung IRO ITB. Setelah mencari-cari, akhirnya ketemu juga pintu masuknya. Saya diterima oleh sekretarisnya dan meminta untuk menunggu sebentar. Kimura sensei keluar dari ruangannya. Saya berdiri dan langsung menyalami beliau. Saya bercerita bahwa saya berminat untuk mendaftar program IELP dan sudah menghubungi Professor disana tapi belum mendapatkan balasan. Setelah itu, beliau ‘menginterogasi’ saya dengan beberapa pertanyaan mulai dari IP, TOEFL, CV, Topik TA, dll. Mungkin untuk mengecek kesiapan. Setelah itu, beliau langsung mengambil telepon dan dari pembicaraannya, beliau sedang mengontak GSES langsung supaya memberitahukan Prof. Sato dan Prof. Yin bahwa ada mahasiswa yang ingin melanjutkan studi di lab mereka. Setelah mengobrol dan meminta advice dari Kimura Sensei, saya izin pamit.

Tak lama berselang, sekitar sore harinya, ada satu email masuk. Tau dari siapa? Dari Prof. Yin! Saya kaget, dan cepat-cepat membaca. Intinya Yin sensei menguncapkan terima kasih sudah interest di topik penelitiannya dan menerima saya di labnya asal saya diterima sebagai penerima beasiswa Monbukagakusho. Senang sekali hari itu. Saya mengulang-ulang membaca email dari Yin sensei, untuk memastikan bahwa saya tidak salah lihat. Haha.

Sejak saat itu, saya berdiskusi mengenai tema besar penelitian yang akan saya geluti selama 5 tahun ke depan. Saya meminta topik apapun asal yang behubungan dengan nanomaterial. Akhirnya setelah satu minggu berdiskusi, disetujuilah topik mengenai “Water Controlled Release Solvothermal Process (WCRSP) of Morphological Controllable Oxide Based Nanomaterial”. Keren kan? Biasa aja sih sebenernya. Hehe. Intinya cuma tentang mengembangkan teknik baru untuk sintesis nanomaterial.
Saya juga tidak lupa untuk melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan untuk pendaftaran. Tidak terlalu sulit jika kita mempersiapkannya dari jauh-jauh hari. Application Form, CV/Resume, Transkrip IP, 2 Recommendation Letter dan Sertifikat Bahasa. Saya masih ingat saat meminta surat rekomendasi ke dosen pembimbing tugas akhir, saya ditolak karena saya belum lulus. Walaupun saya sudah meminta dengan muka yang penuh belas kasih, tetap saja beliau tidak mau. Sedih kan. Tapi, saya selalu memegang prinsip untuk selalu tegas terhadap tujuan, dan fleksibel dengan cara mencapainya. Sehingga saya memutuskan untuk meminta rekomendasi dari dosen yang memberikan pengumuman tentang program ini. Alhamdulillah beliau menyetujui. Selain itu, syarat yang belum saya penuhi yaitu Sertifikat Bahasa. Waktu itu saya cuma ada TOEFL ITP. Walaupun skornya bagus, tapi tidak tercantum dalam persyaratan. Hanya ada TOEFL-iBT, IELTS atau TOEIC. Setelah mengemail panitia, saya diperbolehkan menggunakan TOEFL ITP terlebih dahulu dengan syarat mengirimkan salah satu language certificate diatas. Dengan penuh pertimbangan, akhirnya saya memilih mengambil TOEIC karena selain harganya paling murah, dan waktu tesnya juga setiap hari rabu. Saya daftar di ITC yang terletak di Jakarta dan sertifikat bisa diambil H+1 yang bisa saya langsung saya kirimkan. Ada satu lagi yang paling berkesan, yaitu saat mengirim berkas. Persyaratan semua sudah selesai, tinggal menunggu surat rekomendasi dari kaprodi yang baru pulang dari Hiroshima tepat menjelang batas akhir pengiriman. Saya segera menuju kantor pos di Jalan Asia Afrika. Ditengah perjalanan, hujan tiba-tiba turun deras sekali. Sehingga saat turun dari Angkot, saya lindungi tas dengan jaket supaya tak terkena air. Saya panggil tukang becak untuk mengantarku ke depan kantor pos. Becak satu-satunya alternatif agar berkas-berkas saya tak basah oleh air hujan. Walaupun akhirnya celana dan jaket basah kuyup, namun tak apa, karena isi tas lebih penting. Sesampainya depan kantor pos, ternyata sudah tutup. Saya kecewa. Padahal masih ada waktu 5 menit lagi. Saya mengirim dokumen esok harinya, pagi-pagi sekali, berharap dokumen sampai tepat waktu di Jepang. Saya menggunakan EMS yang memiliki fasilitas tracking number, jadi kita bisa memantau sudah sampai mana dokumen kita. Alhamudillah, dokumen saya sampai di Tohokudai tepat waktu.

Singkat cerita, saya dihubungi oleh Prof. Yin untuk jadwal wawancara. Awalnya, saya akan diwawancarai tanggal 8 Januari 2015 melalui Skype atau WeChat. Saya sudah persiapan dari jauh-jauh hari, mulai dari menginstall ulang Skype untuk windows 8, menginstall WeChat sampai mengecek kestabilan koneksi internet di ITB. Selain itu saya juga sudah mempersiapkan segala kemungkinan pertanyaan yang akan muncul dan serta bagaimana saya harus menjawabnya. Tapi ternyata jadwal wawancara saya diundur jadi tanggal 19 Januari, padahal saya sudah cepat-cepat ke Bandung hanya untuk wawancara. Tapi tak apa, saya yakin ada hikmah dibalik ini.

Tibalah hari wawancara, saya harus jam 7 pagi ke ruang multimedia FTMD agar mendapat koneksi internet yang cepat. Saya dibantu Teknisi IT disana. Jam 8 saya juga melakukan testing dengan Prof. Yin untuk memastikan semua berjalan dengan lancar. Tak lupa juga meminta doa ke orang tua supaya dilancarkan dan berikan hasil yang terbaik. Waktu itu ada 3 orang pewawancara, saya lupa namanya. Tapi salah satunya adalah Prof. Yin tentu saja. Satu persatu secara bergiliran membombardir saya dengan pertanyaan. Alhamdulillah saya bisa jawab dengan lancar, walaupun diawal-awal ada gangguan dengan koneksi internet sehingga harus menunggu selama 15 menit agar kembali stabil. Sekitar 1 jam, wawancara selesai. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas waktu dan kesempatannya. Saya juga mengatakan ini pertama kalinya saya diwawancarai oleh Professor-professor terbaik dibidangnya. Mereka juga menyampaikan beberapa hal salah satunya adalah final announcement yang akan di release tanggal 6 Februari, artinya 3 minggu setelah wawancara.

Sambil menunggu, saya juga sempat mencari-cari beasiswa lain salah satunya Korean Government Scholarship Program (KGSP) ke Korea University untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk. Sama seperti IELP yang mensyaratkan agar menghubungi Professor terlebih dahulu, maka saya mengemail beberapa professor disana yang akhirnya tak ada satupun email yang dibalas. Ada satu, Prof. Taeyeon, namun itupun saya ditolak dengan alasan labnya sudah penuh. Saya kecewa, karena deadline juga sudah mepet.

Tanggal 4 Februari 2015, saya mendapat pesan dari Kang Zaka bahwa ada 4 orang dari Indonesia yang diterima. Salah satunya Marsetio, Teknik Material 2010 yang memang daftar di lab yang sama. Saat saya tanya siapa 3 orang lainnya, kang Zaka tidak tahu. Tapi dia yakin bahwa saya diterima saat saya tak seyakin itu. Haha. Selama 2 hari saya benar-benar tak enak makan dan tidur (sumpah ini bener) memikirkan pengumuman dan mempersiapkan kemungkinan terburuk, yaitu gagal.

Tanggal 6 Februari, saat itu saya sedang ada kelas. Saya terus-terusan membuka email berharap pengumuman cepat keluar. Ada satu email dari IELP Admission Office bahwa pengumuman telah keluar, dan bisa dilihat di website IELP dengan memasukan password yang dikasih oleh panitia. Saya tidak sabar dan langsung membuka pengumuman itu. Yang pertama saya cari adalah nomor registrasi saya, yaitu GM04204. Dan aku serasa tak percaya, nomor registrasi saya tercantum didaftar peserta yang lolos sebagai kandidat penerima beasiswa Monbukagakusho. Hanya 8 orang yang diterima yang terdiri dari 6 orang master (yang akhirnya saya tau bahwa 4 orangnya dari Indonesia) dan 2 orang doktor. Saat itu perasaan lega sekaligus bahagia ditengah-tengah dosen yang sedang menjelaskan perkuliahan. Saya langsung memberitahukan orang tua melalui pesan singkat dan mengucapkan terima kasih atas doa mereka.

Untuk melengkapi cerita ini, saya ingin membagi tips dan triknya. Bagi kalian yang ingin melanjutkan S2 di Jepang atau Korea, kunci agar bisa lolos adalah diterima oleh salah satu Professor disana. Walaupun persyaratan IPK, TOEFL dan Rekomendasi itu penting,namun masih kalah penting sama syarat yang satu itu. Karena di negara-negara itu, kita menjalani perkuliahan dengan konsep research based, artinya kita setiap hari kerjaannya ngelab. Boleh tidak masuk lab jika ada kuliah saja. Oleh karena itu, coba kirimkan juga paper atau karya tulis yang pernah kalian buat apalagi yang berhubungan dengan topik riset disana nanti. Itu akan memperkuat aplikasi kita. Kendala yang biasanya dihadapi adalah kelengkapan dokumen, ada yang IPnya dibawah syaratlah, ada juga yang bahasa inggrisnya masih jeleklah, belum ada pengalaman ini itulah. Makanya persiapkan dari jauh-jauh hari! Kuliah yang rajin, ikut organisasi buat nambah pengalaman, bikin penelitian sederhana, belajar bahasa inggris, ikut tesnya. Persiapan itu butuh waktu, maka selain investasi uang, waktu adalah bentuk investasi kalau mau dapat beasisawa. Terus saat wawancara, jawab sedetail-detailnya dan sejujur-jujurnya. Sekali lagi, persiapkan dari jauh-jauh hari. Bisa mulai latihan dengan teman agar lidah kita tak kaku saat harus berbicara dengan bahasa Inggris. Baca-baca lagi CVmu, karena pertanyaan bisa muncul dari CV. Saat wawancara, saya disuruh cerita ketika saya pergi ke Jerman dan Singapura. Terakhir dan yang paling penting, jangan lupa minta doa dan keridhoan orang tua agar prosesnya dilancarkan. Ingat, “Ridhaallahi fi ridhalwalidaini”, ridho Allah terletak pada ridho orang tua. Semoga bermanfaat dan menginspirasi!

Bandung, 21 Maret 2014

(c) Angga Hermawan

Minggu, 15 Maret 2015

Chasing A Flight

Singapura, 9 Mei 2014
          Sudah 2 bulan ini aku membuat perencaan untuk melakukan perjalanan solo backpacker ke beberapa negara ASEAN, yaitu Kamboja, Vietnam, Laos dan Thailand. Berbekal browsing, tanya-tanya teman, dan sedikit imajinasi maka jadilah sebuah itinerary. Detail sekali menurutku. Karena, selain budget dan tempat-tempat yang wajib dikunjungi, aku juga menuliskan nama Bus, tempat berangkatnya sampai Merek busnya pun aku tulis. Aku sendiri memiliki tema untuk perjalananku kali ini, yaitu “Lost in ASEAN : One day one city”. Ya karena aku akan pergi ke negara-negara yang aku tak terlalu kenal bahasa dan budayanya.
Hari keberangkatanpun tiba, aku berangkat dari Singapura ke Kuala Lumpur melalui jalan darat. Kenapa harus dari Kuala Lumpur? Karena aku dapat tiket (sangat) murah ke Bangkok lewat Kuala Lumpur dari salah satu low cost airline. Pagi-pagi sekali aku berangkat menuju Imigrasi Singapura lalu dilanjutkan ke Johor Bahru. Dari sana, aku memilih naik bus untuk ke Kuala Lumpur. Ya begitulah rencanaku. Namun, masalah demi masalah bergiliran datang. Saat menaiki MRT, aku sempat ketiduran sehingga harus turun dan naik MRT lagi ke arah sebaliknya untuk menuju Woodlands station. Ini pertama kalinya aku ke Johor Bahru via Woodlands, yang biasanya kucapai via Kranji. Tapi karena ini hari terakhirku di Singapura, jadi ku coba jalan lain, ditambah lagi itu akan memangkas waktu perjalanan, pikirku. Tiba di Woodlands station, aku langsung tanya sana sini menanyakan platform bus nomor 950 yang akan membawaku ke Johor Bahru. Dari kejauhan aku lihat Bus nomor 950 itu. Aku langsung berlari agar tidak ditinggal. “Sorry, sorry, my bus is going to departure” kataku sambil berjalan cepat disela-sela kerumunan banyak orang. Sesaat sebelum sampai, kondektur bus mengisyaratkan agar bus cepat berangkat. “Wait.. wait” pintaku terengah-engah. Malang nasibku, bus tidak menghiraukan permintaanku. Ya itulah Singapura. Berangkat jam segini ya harus jam segini. Kamu telat, kami tinggal. Jadilah aku harus menunggu sampai Bus berikutnya datang.
Waktu terus berputar, sudah hampir 20 menit berdiri di platform ini, yang ku tunggu tak kunjung datang. Padahal bus dengan nomor lain datang dan pergi. Aku coba coba tanya ke petugas, katanya bus datang tiap satu jam sekali. Sempat berpikir untuk ke Kranji MRT dan menaiki bus nomor 170 yang frekuensi kedatangannya lebih cepat. Namun ketidakpastian jadwal kedatangan bus membuatku ragu juga. Bagaimana kalau saat aku pergi ke Kranji, bus nomor 950 itu datang? Aku lihat jam tanganku, masih ada sekitar 8 jam sebelum jadwal flight ku yang akan lepas landas pukul 18.45 waktu Malaysia. Kurasa masih cukup, jadi aku putuskan untuk menunggu. 20 menit telah berlalu, tibalah si Bus 950. Bergegas aku masuk ke Bus beserta penumpang lain dengan tujuan yang sama, Johor Bahru.
Singkat cerita, setelah melewati Imigrasi Woodlands Checkpoint dan Johor Bahru Checkpoint yang memakan waktu sekitar satu jam, aku sampai di Terminal Larkin, Johor Bahru. Seperti biasa, terminal ini sudah cukup ramai. Hiruk pikuk penumpang, calo-calo yang berseliweran serta bus dengan tujuan berbagai kota di Malaysia nampak sudah menjadi rutinitas di terminal ini. Aku langsung bergegas mencari kaunter Bus tujuan KL dengan jam keberangkatan secepat mungkin. Aku tak mau lagi menunggu seperti di Woodlands tadi. “KL, KL, berangkat sekarang” teriakan dari calo yang mulai menawarkan tiket tujuan KL. Aku tidak serta merta langsung tertarik, karena harganya sudah di mark up sekian ringgit dan cukup mahal dari harga normal. Aku juga harus tetap memegang teguh bugdet plan yang aku buat selama 2 bulan ini, agar tidak overbudget. Setelah berputar-putar dan tidak mendapatkan jam yang aku mau, aku menemukan kaunter dengan jadwal keberangkatan yang pas menurutku. Jadilah aku membelinya walaupun sedikit lebih mahal dari harga normal. Tidak apa, ini sedang keadaan darurat. Aku diantarkan ke platform bus oleh seorang wanita yang tidak lain adalah penjaga kaunter. Aku diminta menunggu. Bus akan datang sekitar pukul 12.15. Masih ada 6 jam lagi sebelum pesawatku berangkat.
Ternyata oh ternyata, bus ku terlambat 15 menit. Walau begitu, bus tidak langsung berangkat. Bus harus menunggu penumpang lain dari berbagai calo, ditambah lagi supir bus juga keluar untuk makan siang. Memang calo disini sudah terkoordinasi dengan rapi. Bahkan mereka menggunakan Handy Talkie untuk mengecek bus mana saja yang masih kosong. Tentu dengan harga yang lebih mahal. Makin gregetan. Ingin sekali aku bilang ke kondektur bus agar segera berangkat, tapi di negara orang aku tak bisa melakukan itu. Bisa bisa nanti hanya namaku saja yang pulang ke Indonesia. Jam 1, akhirnya bus pun berangkat. Aku mencoba menenangkan pikiranku, sambil memikirkan berbagai alternatif agar aku sampai di Low Cost Carier Terminal (LCCT) tepat waktu. Tak sadar aku sudah tertidur.
Bus yang aku naiki ternyata berhenti bukan di Bandar Tasik Selatan (BTS), tapi di Terminal Puduraya, Kuala Lumpur. Padahal disitu tidak dilewati oleh KLIA Transit yang akan membawaku ke lapangan terbang LCCT. Aku keluar dari terminal dan bertanya-tanya stasiun MRT atau KTM terdekat untuk menuju BTS. Katanya yang paling dekat itu ya di KL Sentral. Dari sini Aku harus naik Taksi atau Bus. Karena waktu yang semakin sempit, aku memilih taksi. Aku sedikit berdebat dengan sang supir tentang bagaimana cara ke LCCT. Dia mengatakan bahwa tidak ada kereta yang langsung ke LCCT sehingga harus pakai taksi atau bus dari BTS. Tapi aku yakin bahwa di KL Sentral ada KLIA Transit yang menuju ke LCCT. Aku pun meminta untuk diantarkan ke KL Sentral saja, walau sang supir masih bersikeras dengan pendapatnya.
            Setibanya di KL Sentral, aku langsung menuju ke kaunter KLIA Ekspress. Aku berkata bahwa aku ingin menuju ke LCCT. Sang penjaga kaunter mengarahkan Aku untuk menuju KLIA Transit yang terletak tidak jauh dari situ. Tanpa pikir panjang, aku menuju ke sana dan membeli tiketnya. Harganya 12,5 ringgit. Untuk rutenya, memang tidak ada kereta yang sampai ke LCCT. Tapi nanti transit dulu di stasiun salak tinggi kemudian naik bus ke LCCT. “How long does it take to LCCT?” tanyaku. “It’s about 45 minutes, and the next train will departure in 12 minutes” jawab salah satu penjaga kaunter sambil menyerahkan tiketku. Masih ada sekitar 3 jam lagi. Aku sedikit tenang.
             Sekitar 25 menit, keretaku sampai di stasiun Salak Tinggi. Dan bus sudah menunggu. Aku melihat jam tanganku lagi. Ah masih ada waktu satu setengah jam. Aku memutuskan untuk sholat dahulu, karena sudah memasuki waktu ashar, sedangkan sholat dzuhurpun belum aku tunaikan. Jadilah aku menunaikan sholat jama’ disana. Setelah selesai, aku meneguk segelas air mineral yang tersedia di mushola kecil tersebut. Rasanya haus harus berkejar-kejaran dengan waktu.
            Akupun keluar dari gate dan menuju bus yang sudah terparkir didepan stasiun. Tapi aneh, keadaan dalam bus masih sepi. Hanya aku sendiri dan sang supir. “Pak, jam berape bus ini berangkat?” tanyaku dengan logat sok melayu. “Tunggu kereta berikutnye datang, sekitar 30 menitan lagi la” jawabnya. Berarti sekitar jam 17.25 bus itu akan berangkat. Aku semakin khawatir. Tapi aku sekali lagi menenangkan diri mengingat perjalanan hanya 25 menit dan waktu check-in bisa 45 menit sebelum berangkat. Kereta berikutnya tiba. Para penumpang yang akan menuju LCCT pun naik bus yang sama. Kebanyakan adalah warga asing.
            Pukul 17.50 aku sampai di LCCT. Tidak sesuai dengan dugaanku, disana ramai sekali. Lalu, Aku bergerak cepat menuju kaunter check-in. Sialnya, aku harus melalui X-Ray Scanning dulu. Saat itu antriannya sangat panjang. Pasti tidak akan sempat untuk check-in. Saat mengantri, aku melihat dipapan pengumuman digital bahwa waktu check-in penerbangan ke Don Muang Airport, Bangkok, sudah ditutup. Aku merasa was-was dan sedikit putus asa. Tapi aku tak hilang akal. Aku berlari menuju antrian paling depan dan berkata “Could i go ahead please? My flight is going to departure, i don’t want to be late” aku memohon dengan napas tersengal sengal. Mungkin karena mereka kasihan melihatku, akhirnya aku diizinkan untuk masuk duluan. Setelah itu, aku menuju kaunter dan menanyakan apakah aku masih bisa check-in atau tidak sambil menyerahkan passportku. Kemudian dia sejenak menelepon untuk melakukan konfirmasi. Tidak lama kemudian dia memberikan tiket penerbanganku. Aku terima tiket itu mengucapkan terima kasih. Sang kaunter membalas dengan senyum manisnya. Setelah melewati beberapa proses dibandara seperti cap imigrasi, pemeriksaan tas dan barang bawaan yang tak kalah menengangkan, sampai sampai namaku sudah dipanggil-panggil untuk segera menaiki pesawat. 10 menit sebelum berangkat, aku tiba didepan pintu besi terbang itu. “Bangkok, I’m coming. Terima kasih ya Allah” aku berkata dalam hati. Aku duduk di dekat jendela. Perjalananku hari itu aku akhiri dengan melihat tenggelamnya matahari diantara awan-awan. Lembayung senja menambah cantik dan syahdunya suasana. “Maha Besar Allah yang telah menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya” decakku kagum. Ya Allah, tanpa pertolongan-Mu, aku tak bisa melanjutkan perjalananku, tak bisa menjelajahi bumi-Mu dan mungkin tak bisa menuliskan cerita cerita hikmah dibalik semua rencana-Mu. Lalu, aku pun terlelap.

***
Next Story will be uploaded soon here