Namanya Mr. Kham,
umur sekitar 45 tahun, berkulit sawo matang. Ya, dia yang akan mengantarkan
sekaligus menjadi tour guide ku untuk
berkeliling Siem Reap dan Angkor Wat hari ini. Aku hanya punya waktu 9 jam
sebelum berangkat ke kota berikutnya, Phnom Penh. Segera aku minta untuk
mengantarkanku ke Kaunter Tiket masuk Angkor Wat. Ditengah perjalanan kami
berbincang-bincang. Dari situ aku tau bahwa dia sudah bekerja sebagai tukang
ojek selama kurang lebih 15 tahun, dari mulai Angkor Wat yang belum terkenal,
sampai dikunjungi oleh banyak wisatawan seperti sekarang. Dia belajar bahasa
Inggris bukan dari sekolah formal, tapi
dari sesama tour guide. Dari situ,
dia mulai berlatih untuk bisa menjelaskan segala hal tentang Angkor Wat.
Sampai juga di Kaunter Tiket setelah
15 menit perjalanan. Harga masuk Angkor Wat untuk satu hari adalah $20. Harga
yang cukup mencekik bagi para Turis, cukup mahal juga jika dibandingkan dengan
tiket masuk Candi Borobudur atau Candi Prambanan. Mungkin ini yang jadi devisa
paling besar bagi Kota Siem Reap : Uang Turis. Promosi yang gencar dari
pemerintah Kamboja sekaligus pernah dijadikan tempat syuting film Tomb Rider yang
dibintangi oleh Angelina Jolie menjadikan Angkor Wat salah satu destinasi
wisata yang menarik dikunjungi di Asia Tenggara. Aku jadi makin penasaran
seberapa megah kah Angkor Wat jika dibandingkan dengan Candi-candi di
Indonesia. Aku simpan rasa penasaranku karena perut yang minta diisi. Aku minta
diantarkan dulu untuk makan siang ke restaurant muslim. Dia bilang dia tau
dimana letaknya. Kita pun meluncur kesana.
Masuk jalan dan gang gang kecil,
sampailah aku di restaurant muslim
itu. “Cambodian Muslim Restaurant”, ya begitulah kira-kira namanya. Saat itu restaurant sepi sekali. Tak ada satu pun
pengunjung.
Aku memesan menu yang paling murah, ayam cincang dan 2
porsi nasi. Ini caraku agar bisa tetap
bertenaga saat travelling. Setelah selesai makan, aku minta diantarkan ke
Masjid untuk sholat. Aku sebenarnya tak yakin ada Masjid disini, tapi kata
penjaga restaurant yang juga seorang muslim, ada masjid tidak jauh dari sini.
Dan aku hampir saja lupa kalau hari ini adalah hari Jumat. Aku baru sadar saat
menuju Masjid, dimana banyak orang-orang yang menuju ke tempat yang sama.
Populasi muslim disini cukup banyak, Aku agak kaget juga. Di negara yang dahulu
terkenal dengan genosida nya ini, populasi muslim masih bisa bertahan, bahkan
terus berkembang. Mr. Kham menyalakan motornya. Dia dengan sabar menungguku
menyelesaikan urusan perutku. Setelah memberikan sejumlah Dollar kepada pemilik
restauran, kami menuju masjid. Jaraknya sekitar 10 menit dari restauran. Ditengah
perjalanan, aku melihat puluhan laki-laki dengan pakaian khas arab berjalan ke
arah yang sama.
“Who are they,
Mr.Kham?” tanyaku.
“They are muslim
people, same as you. There is only one mosque nearby”. Oh pantas saja, cuma
ada satu masjid disekitar sini. Tak lama kemudian, aku melihat sebuah bangunan
berwarna krem kekuningan dengan kubah dan menara berwarna putih. Tidak salah
lagi, itu masjid yang kami tuju. Kesan pertama, lingkungan di sekitar masjid
gersang, tandus dan berdebu. Cukup jauh berbeda dengan yang aku lihat di
sepanjang jalan kota Siem Reap yang begitu bersih dan Rapi. Masjid An-Ni’mah.
Nama masjid yang ditulis dalam bahasa arab gundul yang terpampang pada gerbang
Masjid. Ditambahi pula oleh tulisan khmer yang aku tak tahu artinya. Aku turun
dan meminta Mr. Kham untuk menunggu di sekitaran Masjid saja sampai Jum’atan
selesai. Dia berteduh di teras rumah. Memang hari ini terik sekali matahari.
Aku masuk, kemudian mengambil air wudhu dilanjutkan dengan sholat sunnah 2
rakaat.
Satu- persatu jamaah berdatangan. Shaf-shaf mulai terisi
penuh. Kumandang adzan dibawakan merdu oleh muadzin.
Khutbah jum’at kali ini disampaikan dalam bahasa Khmer, bahasa nasional
Kamboja. Jujur, sepanjang khutbah aku menerka-nerka apa isi khotbah tersebut.
Dari suaranya, sang khatib sangat bersemangat dan menggebu-gebu menyampaikan
khotbah ini. Aku masih tak mengerti apa maksud dari khotbah jumat tadi. Selesai
sholat aku memberanikan diri bertanya kepada salah seorang muslim di sana,
sambil aku juga ingin mendengar cerita mengenai sejarah kampung muslim di Siem
Reap ini. Kemudian aku dikenalkan dengan
salah seorang ulama disana, aku lupa namanya, tapi sebut saja Ustadz Yusuf. Kami
duduk-duduk di dalam masjid, dekat mimbar. Aku mengenalkan diri sebagai turis
dari Indonesia yang sedang melakukan perjalanan mengelilingi Asia Tenggara. Dia
tahu Indonesia dari turis-turis yang datang ke Siem Reap ini.
Aku bertanya beberapa pertanyaan, tujuannya untuk
mengetahui lebih dalam asal-usul komunitas muslim di Siem Reap Ini. Ustadz
Yusuf mulai bercerita dengan bahasa Inggris yang cukup bisa dimengerti
diselingi bahasa Melayu. Beliau mengatakan ada 4 masjid di provinsi Siem Reap.
Salah satunya masjid An-Nikmah ini. Mereka menamakan diri mereka sebagai Muslim
Cham. Ada sekitar 600,000 Muslim Cham yang tersebar di seluruh wilayah Kamboja.
Salah satunya di kampung ini, kampung Steung Thmey namanya. Aku bertanya
bagaimana asal mula agama islam masuk ke Kamboja. Beliau kembali bercerita,
menjawab apa yang aku tanyakan. Dahulu, di daerah Vietnam Utara dan masuk
sedikit wilayah China, terdapat sebuah kerajaan yang bernama Champa. Kerajaan
ini merupakan salah satu kerajaan hindu di Asia Tenggara di abad 17. Syiar
Islam masuk dan diterima baik di Kerajaan Champa, kemudian mendarah daging ke
masyarakat. Namun, saat terjadi Invasi dari kerajaan-kerajaan sekitarnya yang
berasal dari China dan Burma, kerajaan hancur dan penduduknya tercerai berai ke
daerah-daerah di Vietnam, Kamboja, Laos. Malaysia dan Wilayah Selatan Thailand.
Aku seperti berwisata sejarah. Membayangkan bagaimana Islam seakan menjadi
ancaman. Ustadz Yusuf menambahkan kalau, komunitas muslim Cham di Siem Reap
tidak sebanyak di Ho Chi Minh. Rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku
bertanya, bagaimana komunitas muslim masih bisa bertahan sampai saat ini. Pemerintah
mendukung. Ya, katanya pemerintah cukup mendukung dengan kegiatan muslim di
Siem Reap. Keberadaan mereka menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan
muslim yang berkunjung ke Angkor Wat. Pemerintah mempermudah pendirian
restaurant-restaurant halal di sini. Walaupun dari segi pendidikan dan
fasilitas, kami merasa ada diskriminasi. Namun, bertemu dengan saudara-saudara
muslim dari seluruh penjuru dunia, membuat kami merasa senang. Satu pertanyaan
terakhir dariku yang penasaran dengan isi khutbah tadi. Ustadz Yusuf paham
kalau aku tidak mengerti. Intisari dari khutbah jumat yang disampaikan adalah pentingnya
meningkatkan rasa syukur dengan apa-apa yang didapatkan. Tidak perlu mengeluh
dengan keadaan muslim Cham di Siem Reap. Kami masih diberikan ketentraman untuk
hidup. Tidak seperti saudara-saudara Muslim kita di Rohingya dan Palestina yang
hampir setiap hari, bahkan setiap detik, kematian bisa datang menghampiri.
Suara-suara tembakan, roket, bom tidak dirasakan di sini. Tidak lupa kami juga
memanjatkan doa bagi mereka agar selalu diberikan ketabahan. Siang ini, kami
menggalang bantuan dana bagi muslim disana. Aku sangat kagum dengan mereka,
walaupun sebagai minoritas yang penuh keterbatasan, namun tak menurunkan
semangat mereka untuk berbagi.
Tak terasa sudah jam 2 siang. Aku memutuskan untuk
berpamitan karena ingin mengunjungi Angkor Wat yang tiketnya sudah kubeli. Dia
menawarkan adiknya untuk menjadi supir tuk-tuk. Aku bilang kalau aku sudah
menyewanya tadi pagi. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih karena telah memberikan
banyak cerita sejarah yang tak pernah aku dapatkan. Aku memberikan koin rupiah
untuk kenang-kenangan. Didepan masjid, Mr. Kham sudah menunggu dengan wajah
kepanasan. Aku mengucapkan salam kepada Ustadz Yusuf dan berharap bisa bertemu
lagi dilain hari, walaupun aku yakin beliau akan ingat denganku. Aku bersama
Mr.Kham kembali menyusuri jalan berdebu yang disekitarnya aku melihat Ibu-Ibu
sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangganya, dan anak-anak yang sedang
bermain. Senyum di wajah mereka, telah menghilangkan rasa lelah yang sedari
tadi menyelimuti. Setelah ini, aku semakin bersemangat untuk menyelesaikan
perjalanan ini. Terima Kasih Mr. Kham, karena telah membawaku ke sisi lain Kota
Siem Reap.
***