Pages

Selasa, 05 Mei 2015

Siem Reap bukan hanya Angkor Wat

             Namanya Mr. Kham, umur sekitar 45 tahun, berkulit sawo matang. Ya, dia yang akan mengantarkan sekaligus menjadi tour guide ku untuk berkeliling Siem Reap dan Angkor Wat hari ini. Aku hanya punya waktu 9 jam sebelum berangkat ke kota berikutnya, Phnom Penh. Segera aku minta untuk mengantarkanku ke Kaunter Tiket masuk Angkor Wat. Ditengah perjalanan kami berbincang-bincang. Dari situ aku tau bahwa dia sudah bekerja sebagai tukang ojek selama kurang lebih 15 tahun, dari mulai Angkor Wat yang belum terkenal, sampai dikunjungi oleh banyak wisatawan seperti sekarang. Dia belajar bahasa Inggris bukan dari sekolah formal,  tapi dari sesama tour guide. Dari situ, dia mulai berlatih untuk bisa menjelaskan segala hal tentang Angkor Wat.
            Sampai juga di Kaunter Tiket setelah 15 menit perjalanan. Harga masuk Angkor Wat untuk satu hari adalah $20. Harga yang cukup mencekik bagi para Turis, cukup mahal juga jika dibandingkan dengan tiket masuk Candi Borobudur atau Candi Prambanan. Mungkin ini yang jadi devisa paling besar bagi Kota Siem Reap : Uang Turis. Promosi yang gencar dari pemerintah Kamboja sekaligus pernah dijadikan tempat syuting film Tomb Rider yang dibintangi oleh Angelina Jolie menjadikan Angkor Wat salah satu destinasi wisata yang menarik dikunjungi di Asia Tenggara. Aku jadi makin penasaran seberapa megah kah Angkor Wat jika dibandingkan dengan Candi-candi di Indonesia. Aku simpan rasa penasaranku karena perut yang minta diisi. Aku minta diantarkan dulu untuk makan siang ke restaurant muslim. Dia bilang dia tau dimana letaknya. Kita pun meluncur kesana.
            Masuk jalan dan gang gang kecil, sampailah aku di restaurant muslim itu. “Cambodian Muslim Restaurant”, ya begitulah kira-kira namanya. Saat itu restaurant sepi sekali. Tak ada satu pun pengunjung.
Aku memesan menu yang paling murah, ayam cincang dan 2 porsi nasi.  Ini caraku agar bisa tetap bertenaga saat travelling. Setelah selesai makan, aku minta diantarkan ke Masjid untuk sholat. Aku sebenarnya tak yakin ada Masjid disini, tapi kata penjaga restaurant yang juga seorang muslim, ada masjid tidak jauh dari sini. Dan aku hampir saja lupa kalau hari ini adalah hari Jumat. Aku baru sadar saat menuju Masjid, dimana banyak orang-orang yang menuju ke tempat yang sama. Populasi muslim disini cukup banyak, Aku agak kaget juga. Di negara yang dahulu terkenal dengan genosida nya ini, populasi muslim masih bisa bertahan, bahkan terus berkembang. Mr. Kham menyalakan motornya. Dia dengan sabar menungguku menyelesaikan urusan perutku. Setelah memberikan sejumlah Dollar kepada pemilik restauran, kami menuju masjid. Jaraknya sekitar 10 menit dari restauran. Ditengah perjalanan, aku melihat puluhan laki-laki dengan pakaian khas arab berjalan ke arah yang sama.
Who are they, Mr.Kham?” tanyaku.
They are muslim people, same as you. There is only one mosque nearby”. Oh pantas saja, cuma ada satu masjid disekitar sini. Tak lama kemudian, aku melihat sebuah bangunan berwarna krem kekuningan dengan kubah dan menara berwarna putih. Tidak salah lagi, itu masjid yang kami tuju. Kesan pertama, lingkungan di sekitar masjid gersang, tandus dan berdebu. Cukup jauh berbeda dengan yang aku lihat di sepanjang jalan kota Siem Reap yang begitu bersih dan Rapi. Masjid An-Ni’mah. Nama masjid yang ditulis dalam bahasa arab gundul yang terpampang pada gerbang Masjid. Ditambahi pula oleh tulisan khmer yang aku tak tahu artinya. Aku turun dan meminta Mr. Kham untuk menunggu di sekitaran Masjid saja sampai Jum’atan selesai. Dia berteduh di teras rumah. Memang hari ini terik sekali matahari. Aku masuk, kemudian mengambil air wudhu dilanjutkan dengan sholat sunnah 2 rakaat.
Satu- persatu jamaah berdatangan. Shaf-shaf mulai terisi penuh. Kumandang adzan dibawakan merdu oleh muadzin. Khutbah jum’at kali ini disampaikan dalam bahasa Khmer, bahasa nasional Kamboja. Jujur, sepanjang khutbah aku menerka-nerka apa isi khotbah tersebut. Dari suaranya, sang khatib sangat bersemangat dan menggebu-gebu menyampaikan khotbah ini. Aku masih tak mengerti apa maksud dari khotbah jumat tadi. Selesai sholat aku memberanikan diri bertanya kepada salah seorang muslim di sana, sambil aku juga ingin mendengar cerita mengenai sejarah kampung muslim di Siem Reap ini.  Kemudian aku dikenalkan dengan salah seorang ulama disana, aku lupa namanya, tapi sebut saja Ustadz Yusuf. Kami duduk-duduk di dalam masjid, dekat mimbar. Aku mengenalkan diri sebagai turis dari Indonesia yang sedang melakukan perjalanan mengelilingi Asia Tenggara. Dia tahu Indonesia dari turis-turis yang datang ke Siem Reap ini.
Aku bertanya beberapa pertanyaan, tujuannya untuk mengetahui lebih dalam asal-usul komunitas muslim di Siem Reap Ini. Ustadz Yusuf mulai bercerita dengan bahasa Inggris yang cukup bisa dimengerti diselingi bahasa Melayu. Beliau mengatakan ada 4 masjid di provinsi Siem Reap. Salah satunya masjid An-Nikmah ini. Mereka menamakan diri mereka sebagai Muslim Cham. Ada sekitar 600,000 Muslim Cham yang tersebar di seluruh wilayah Kamboja. Salah satunya di kampung ini, kampung Steung Thmey namanya. Aku bertanya bagaimana asal mula agama islam masuk ke Kamboja. Beliau kembali bercerita, menjawab apa yang aku tanyakan. Dahulu, di daerah Vietnam Utara dan masuk sedikit wilayah China, terdapat sebuah kerajaan yang bernama Champa. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan hindu di Asia Tenggara di abad 17. Syiar Islam masuk dan diterima baik di Kerajaan Champa, kemudian mendarah daging ke masyarakat. Namun, saat terjadi Invasi dari kerajaan-kerajaan sekitarnya yang berasal dari China dan Burma, kerajaan hancur dan penduduknya tercerai berai ke daerah-daerah di Vietnam, Kamboja, Laos. Malaysia dan Wilayah Selatan Thailand. Aku seperti berwisata sejarah. Membayangkan bagaimana Islam seakan menjadi ancaman. Ustadz Yusuf menambahkan kalau, komunitas muslim Cham di Siem Reap tidak sebanyak di Ho Chi Minh. Rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku bertanya, bagaimana komunitas muslim masih bisa bertahan sampai saat ini. Pemerintah mendukung. Ya, katanya pemerintah cukup mendukung dengan kegiatan muslim di Siem Reap. Keberadaan mereka menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan muslim yang berkunjung ke Angkor Wat. Pemerintah mempermudah pendirian restaurant-restaurant halal di sini. Walaupun dari segi pendidikan dan fasilitas, kami merasa ada diskriminasi. Namun, bertemu dengan saudara-saudara muslim dari seluruh penjuru dunia, membuat kami merasa senang. Satu pertanyaan terakhir dariku yang penasaran dengan isi khutbah tadi. Ustadz Yusuf paham kalau aku tidak mengerti. Intisari dari khutbah jumat yang disampaikan adalah pentingnya meningkatkan rasa syukur dengan apa-apa yang didapatkan. Tidak perlu mengeluh dengan keadaan muslim Cham di Siem Reap. Kami masih diberikan ketentraman untuk hidup. Tidak seperti saudara-saudara Muslim kita di Rohingya dan Palestina yang hampir setiap hari, bahkan setiap detik, kematian bisa datang menghampiri. Suara-suara tembakan, roket, bom tidak dirasakan di sini. Tidak lupa kami juga memanjatkan doa bagi mereka agar selalu diberikan ketabahan. Siang ini, kami menggalang bantuan dana bagi muslim disana. Aku sangat kagum dengan mereka, walaupun sebagai minoritas yang penuh keterbatasan, namun tak menurunkan semangat mereka untuk berbagi.
Tak terasa sudah jam 2 siang. Aku memutuskan untuk berpamitan karena ingin mengunjungi Angkor Wat yang tiketnya sudah kubeli. Dia menawarkan adiknya untuk menjadi supir tuk-tuk. Aku bilang kalau aku sudah menyewanya tadi pagi. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih karena telah memberikan banyak cerita sejarah yang tak pernah aku dapatkan. Aku memberikan koin rupiah untuk kenang-kenangan. Didepan masjid, Mr. Kham sudah menunggu dengan wajah kepanasan. Aku mengucapkan salam kepada Ustadz Yusuf dan berharap bisa bertemu lagi dilain hari, walaupun aku yakin beliau akan ingat denganku. Aku bersama Mr.Kham kembali menyusuri jalan berdebu yang disekitarnya aku melihat Ibu-Ibu sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangganya, dan anak-anak yang sedang bermain. Senyum di wajah mereka, telah menghilangkan rasa lelah yang sedari tadi menyelimuti. Setelah ini, aku semakin bersemangat untuk menyelesaikan perjalanan ini. Terima Kasih Mr. Kham, karena telah membawaku ke sisi lain Kota Siem Reap.

***

Mobil Barang

          Bus yang aku tumpangi sesaat lagi sampai di perbatasan. Aku menanyakan ke penumpang sebelah untuk memastikan. Ya, ini sudah sampai di Rong Klua. Tujuanku menuju Siem Reap sudah semakin dekat. Saat itu masih pagi. Tempat itu seperti pasar tradisional. Aktivitas jual-beli selayaknya seperti di Indonesia. Sopir tuk-tuk juga berlalu lalang mengantarkan pembeli dari dan menuju pasar. Aku turun disitu dan berjalan-jalan untuk mencari sesuap makanan. Sulit sekali untuk sekedar membeli makanan, keterbatasan bahasa menjadi penghalang. Aku segera saja menuju Poipet, wilayah terluar Kamboja tepat bersebelahan dengan Rong Klua. Aku banyak mendapat cerita jika border antara Thailand dan Kamboja ini salah satu yang paling rawan penipuan, terutama bagi turis asing berkulit putih. Penipuan ini disebut scam oleh komunitas backpacker. Scam bisa berupa penaikan harga visa dari agen-agen tak resmi. Visa tetap berlaku, tapi tentu ada mark up harga.  Aku sendiri tidak memerlukan visa untuk memasuki wilayah Kamboja, jadi aku ambil jalur yang non-visa. Walaupun banyak agen-agen yang menawarkan, aku tinggal menunjukkan passportku saja dan mereka langsung diam. Hari itu saya jarang sekali melihat turis melalui rute ini, mungkin karena sudah banyak pesawat dari Bangkok ke Siem Reap. Aku berencana melanjutkan perjalanan dari Poipet ke Siem Reap dengan menggunakan Taksi. Untuk menghemat biaya, saya harus mencari 3-4 orang wisatawan lain yang memiliki tujuan yang sama. Namun, rencana ini harus aku pikir ulang karena tidak ada turis yang terlihat.
            Setelah passport di cap, aku langsung dikerubuti oleh para tukang ojek yang menawarkan jasa ke terminal bus Poipet. Aku tak langsung menyetujui sampai akhirnya ada salah seorang yang menawarkan untuk mencarikan taxi dengan harga seperti biasa, yakni 15 USD. Aku segera menyetujui. Tapi, sebelumnya aku minta diantarkan ke money changer, karena aku tak memegang USD sama sekali. Memang, di Kamboja ada 2 mata uang resmi, USD dan Riel. Keduanya digunakan, namun USD jadi pilihan utama. Di sini kesalahanku, aku menukarkan uang di Border paling kejam ini. Nilai tukarnya sangat rendah sekali. Sehingga aku rugi beberapa puluh dollar. Tapi karena sudah terlanjur, ditambah lagi aku hanya seorang diri, jadi aku terima saja walaupun ada perasaan gondok sekaligus menyesal. Aku  diminta menunggu di sebuah tempat tepat di belakang pasar. Aku mengira yang datang adalah taxi, namun sangkaku salah. Yang akan mengantarkanku hanya sebuah mobil warga lokal yang akan menuju Siem Reap. Itu pun mobil sedan yang sudah cukup tua. Ditambah lagi, mobil sudah terisi oleh 5 orang. Satu supir dan 4 orang anggota keluarga lainnya. Bukan cuma itu, di dalam mobil juga sudah menumpuk barang2 dagangan yang akan mereka jual di sana. Kepalang tanggung, aku langsung masuk saja, sambil menaruh tasku di bagasi. Aku duduk di kursi bagian belakang, dihimpit oleh 3 orang lain. Sempit sekali rasanya. Posisi kakiku juga tak nyaman, karena harus ada di atas barang dagangan. Jangankan ingin meluruskan kaki, menggerakkan badan saja susahnya setengah mati.
            Aku tak bisa membayangkan aku harus menikmati perjalanan dengan posisi seperti ini. Lama perjalanan yang harus kutempuh kurang lebih 6 jam. Dengan situasi seperti ini, aku tidak mau dirugikan. Aku tawar saja harganya menjadi 10 USD, atau saya cari mobil lain. Mungkin karena terdesak butuh uang, tukang ojek tadi menyetujui dan mengatakan ke sang supir. Sepanjang perjalanan, aku cuma bisa diam. Tak ada sepatah kata pun yang aku ucapkan. Mereka tak mengerti bahasa Inggris, dan aku tak mengerti bahasa mereka. Hanya senyuman yang terlempar dari dari wajah mereka. Aku menyebutnya senyum keheranan; karena mungkin dalam benak mereka, kok bisa anak muda seperti ku ini melakukan perjalanan seorang diri di negeri asing yang bahkan aku tak mengerti bahasanya. Tapi aku yakin, di balik senyuman itu, ada rasa ingin tahu dari mana aku berasal dan kenapa aku bisa sampai sini. Segera saja aku ambil kertas yang berisi itinerary perjalanku serta pulpen di saku depanku. Aku coba gambar peta Asia Tenggara, semirip mungkin. Aku juga gambar titik dimana negara mereka dan dimana Indonesia. Dengan bahasa isyarat, aku jelaskan sebisanya. Mereka menggangguk-angguk, walau aku yakin mereka tak sepenuhnya paham. Tak apa, paling tidak aku sudah mengenalkan dimana letak Indonesia.
            Aku coba memejamkan mata berharap waktu cepat berlalu. Tapi aku tak bisa. Keadaan dalam mobil yang panas ditambah oksigen yang tak proporsional dengan jumlah orang di dalam, berhasil membuatku berpeluh keringat. Mereka menawarkan kipas. Tentu aku terima. Dalam hal ini, mereka mengerti tanpa aku memberi isyarat.
         Tanda-tanda sampai di Siem Reap sudah semakin dekat, ditandai dengan makin banyaknya pemukiman di kanan kiri jalan. Terlihat pula candi-candi tempat peribadatan Agama budha yang menjadi agama mayoritas. Di depan aku lihat ada Gapura yang menyambut kedatangan kami. Jalanan menuju Siem Reap ini cukup sepi, hanya beberapa kendaraan pribadi yang melintas. Keadaannya bersih, walaupun udaranya panas. Aku diturunkan di pinggiran kota oleh sang supir, sekaligus memanggil seorang tukang ojek. Aku sedikit protes, kenapa aku diturunkan disini. Padahal sesuai perjanjian, aku meminta diturunkan di sekitar Angkor Wat. Percuma, mereka tak mengerti. Aku bayarkan saja 10 USD dan mengambil tas ranselku. Setelah mereka pergi, aku mengatakan kalau aku ingin pergi ke Angkor Wat kepada sang tukang ojek. Karena memang dia sering mengantar turis-turis kesana, syukurlah dia mengerti bahasa Inggris. Aku bertanya harga, katanya 15 USD untuk satu hari. Aku tawar 10 USD. Dia setuju-setuju saja. Aku meminta untuk diantar ke kaunter tiket dahulu sebelum ke restaurant. Di tengah jalan, dia bertemu teman-temannya yang juga memiliki profesi yang sama. Pemandu wisata. Lebih tepatnya Pengantar Wisatawan. Disana, aku diberitahu kalau pakai ojek itu 15 USD dan pakai tuk tuk 20 USD. Aku tetap memaksa 10 USD sesuai harga awal. Lagi lagi, aku cuma seorang diri di sini. Keadaan yang mengharuskanku menerima ini. Oke, deal 15 USD untuk satu hari dengan syarat mengantarkan kemanapun aku mau, bukan cuma ke Angkor Wat. Kami berjabat tangan, deal. 
***